Minggu, 21 September 2008

MENULIS, SEBUAH REFLEKSI TANPA DIRI

"Kematian pengarang juga diumumkan sebagai muslihat agar
proses membaca dan memaknai lebih kaya dan produktif, yakni
tanpa mengembalikan karya ke asal-usulnya, pengarang
"
(Nirvan Dewanto)

Saya pertama kali membaca pemikiran yang membongkar tentang pemaknaan pada tahun 2000, waktu itu adalah Teori Dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jaques Derrida, salah seorang filsuf Perancis yang dikagumi. Secara tak sengaja saya menemukannya setelah mempelajari gagasan Nietzsche (1844-1900) yang ditulis oleh St. Sunardi.

Ketika makna dibongkar ternyata tidak ada yang tersisa, maka apalah artinya aksara. Kaum eksistensialis menyebutnya sebagai absurd, tanpa makna. Guru-guru Tantra yang meneruskan ajaran madhyamaka menyebut segalanya sebagai sunya (kosong). Tidak ada ezensi dibalik simbol-simbol yang ada di sekitar kita --bahkan di dalam pikiran kita sekalipun.

Menulis mungkin pada mulanya adalah obsesi, sesuatu yang membuat diri ini bisa memenuhi hal-hal yang terbaik. Kadang pula menulis dianggap sebagai upaya mewarisi kekayaan pemikiran untuk generasi yang lebih muda. Seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia, "Sepandai-pandainya seseorang, setinggi-tingginya kekuasaan manusia, apabila ia tidak menulis, maka suatu saat akan di telan oleh sejarah". Namun belakangan, saya memahami menulis sebagai refleksi tanpa diri. Jika makna sudah tidak lagi menjadi daya tarik, lalu untuk apa menulis. Pada akhirnya, menulis bukan untuk orang lain, maupun untuk diri sendiri. Mungkin lebih tepat, menulis hanya untuk menulis itu sendiri. Sekedar menorehkan gagasan untuk proses pembelajarannya sendiri.

Kenyataannya, sebuah tulisan akan diinterpretasikan secara berbeda oleh para pembacanya. Seorang penulis sudah mati ketika tulisan sudah jadi dan mulai dibaca orang lain. Tidak heran jika Levi-Strauss, si empu antropologi itu, pernah menyebutkan bahwa tugas ilmu-ilmu kemanusiaan, humanities, bukanlah melestarikan (konsep tentang) manusia, keseorangan, melainkan melenyapkannya. Kemanusiaan adalah kemampuan menghadapi segala ketidakpastian, seperti yang diekspresikan Samuel Becket (1906-1989) dalam drama legendarisnya Waiting for Godot (1953). Dari awal panggung sudah disinggung tokoh Godot yang sedang ditunggu, hingga akhir drama si Godot itu tidak pernah datang. Hikmah drama itu, bahwa kita sulit mengakui ketanpamaknaan, kita lebih suka mencipta berhala-berhala makna. Dari pada menanti Sang Makna, mengapa tidak menikmati ketanpamaknaan dalam proses. Mengapa kita koq tidak kunjung paham akan ketanpamaknaan?

Jika memang karya tulis itu sudah mati sejak diterbitkan, maka pesan-pesan yang ada dalam karya tulis itu menjadi tidak penting. Tulisan menjadi tak ubahnya seperti alam semesta, suatu kumpulan simbol yang chaos, dan kita hidup didalamnya --tanpa sejumput pengetahuan yang menjelaskan eksistensi kita. Kitalah yang harus berinisiatif untuk memahami semesta. Manfaat dari suatu karya tulis sangat tergantung pada interpretasi para pembaca, sudah tak ada hubungannya lagi dengan penulis. Nagarjuna, seorang filsuf abad I dari India, yang adalah perintis madhyamaka menyebutkan "kebenaran adalah sesuatu yang membantu". Apapun penelusuran makna, itu harus mengabdi pada hal yang membantu pada penyempurnaan akan pengertian hidup. Suatu saat, perjalanan kita akan masuk pada upaya pelepasan makna. Kesempurnaan harus bebas, termasuk bebas dari segala makna yang kita anut.

Refleksi tanpa diri adalah istilah yang paling tepat dalam mendiskripsikan proses penulisan. Karya-karya tulis yang abadi --seperti sebagian besar kitab suci agama, bukan tergantung dari penulisnya, tapi tergantung pada mereka yang membaca. YM. Jotidhammo Thera pernah mengatakan, "Ilmu agama itu sudah mati, yang hidup adalah ilmu filsafat [tentang agama]". Interpretasi akan selalu berkembang dalam konteks jamannya. Menulis tidak lepas dari interpretasi, dan yang paling utama, menulis merupakan teladan tentang ketidakpastian.

Jika seorang penulis enggan melakukan refleksi diri, maka dia akan berhenti belajar. Apa yang dirasakannya itu dianggap sebagai kemandekan yang berarti telah tercapainya tujuan. Padahal itu hanya berhala baru, yang justru bertentangan pada tujuan yang sesungguhnya. Tujuan belajar adalah intuisi untuk tidak berdiam diri dan secara tulus mampu menerima keindahan ketidakpastian. Sang Buddha dalam Ogha Sutta menyebutkan bahwa dengan berdiam hanya akan membuat kita tenggelam, bergerak berlebihan menandakan terjebak dalam harapan kepastian. Keduanya menyebabkan kita tidak bisa melewati banjir (ogha) penderitaan.

Aktifitas menulis tidak ubahnya seperti proses pembelajaran yang hanya menjadi refleksi terus menerus, suatu perjalanan yang bukan hanya tidak menentu tapi juga tiada akhir. Refleksi tanpa diri adalah masuk dalam arus perubahan, yang ditandai dengan adanya keterbukaan. Keterbukaan disini, tidak lain, adalah pengakuan akan kesalahan dan upaya memperbaiki. Ketika seseorang menemukan kesimpulan dalam hidup, kesimpulan itu harus ditinggalkan, karena dia akan segera menemukan kesimpulan yang lain. Berdiam pada sebuah kesimpulan itu mungkin membanggakan. Tapi mestinya kita tak perlu takabur. Fase belajar kita masih panjang.

Saya teringat tulisan Sogyal Rinpoche yang mengutip Patrul Rinpoche (1808-1887), "The logical mind seems interesting, but is is the seed of delution". Intelektualitas bukanlah tidak perlu. Karena berbahaya juga seorang yang sok intuitif yang meremehkan intelektualitas, padahal dia sepenuhnya belum sempurna. Alasan intuitif bisa menghalangi refleksi diri. Dia justru gagal dalam menghadapi ketidakpastian dan lebih memilih nyaman dalam kepastian palsu yang berlabel "spiritual".

Singkat kata, seorang pembelajar, pada akhirnya, menyadari bahwa dirinya telah mati berkali-kali --bahkan sebelum sebuah karya ditulis.

Walaupun saya bukan orang sempurna, tapi itulah yang sedang saya pelajari sekarang.

Rabu, 17 September 2008

SUMMERHILL SCHOOL: PENDIDIKAN ALTERNATIF YANG MEMBEBASKAN


"Summerhill adalah sebuah cara hidup, hidup bersama orang lain dalam sebuah masyarakat dan mengekspresikan diri dengan segenap kecintaan kita pada kasih sayang, ilmu pengetahuan, dan karya".
(Robert Gottlieb, seorang alumnus Summerhill School)

Mungkin tidak terlalu banyak orang mengenal Alexander Sutherland Neill. Neill adalah seorang kepala sekolah sekaligus pendiri Summerhill School di Inggris yang memiliki visi pendidikan yang berani dengan menekankan kebebasan dan kemandirian bagi para siswa. Padahal pada waktu itu psikologi belum berkembang seperti sekarang ini. Gagasan Neill dan keberhasilan model sekolah yang dibentuknya menjadi bukti nyata yang perlu kita perhatikan.

Summerhill School didirikan pada tahun 1921 di Leiston, sekitar 160 km dari London. Gagasan Neill adalah membuat sekolah yang bisa memberikan kebebasan sekaligus tanggungjawab untuk mengatur diri mereka sendiri. Pada jamannya sekolah Neill juga sering menjadi incaran media dengan menganggap sebagai "sekolah sesukamu", yang menyiratkan sekolah bagi kumpulan anak primitif dan liar yang tak kenal aturan dan tata krama.

Memang beberapa gagasan Neill dipengaruhi garis Freudian yang kini dirasa sudah usang. Sebuah buku tulisan Neill yang disunting oleh Albert Lamb pada tahun 1990 berjudul Summerhill School: A New View of Childhood menjelaskan sisi positif dari gagasan Neill tentu dengan tidak menutupi kekurangan yang pernah ada.

"Harapan utama suatu bangsa terletak pada baiknya pendidikan kaum mudanya"
(Erasmus)

Setidaknya ada 8 hal yang menarik dari gagasan Neill. Berikut saya kutip pandangan Neill dan sedikit uraian penjelas.

Pertama, tentang Sekolah Kehidupan. Neill mengatakan: "Summerhill telah membuktikan pada dunia bahwa sekolah dapat menghilangkan ketakutan siswa terhadap guru, dan yang lebih penting, ketakutan terhadap hidup".

Kedua, tentang Kebahagiaan. Bagi Neill, lawan dari penderitaan yang disebabkan ketakutan, tidak lain, adalah kebebasan. Seperti yang sering diungkapkan Neill: "kebebasanlah yang faktor aktif dalam penyembuhan ini". Anak yang bermasalah adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang dengan dirinya sendiri, dan sebagai konsekuensinya adalah, berperang terhadap dunia.

Ketiga, tentang Rajin. Neill menolak gagasan malas yang memojokkan anak. Menurutnya tidak ada anak malas, yang ada hanya tidak adanya minat. Ada dua kemungkinan malas. Yang pertama adalah tidak minat itu tadi. Kedua adalah sakit.

Keempat, tentang Tanpa Kekerasan. Neil menyebutkan: "Saya tidak pernah menemukan bukti bahwa kekerasan, kekejaman, atau kebencian bisa membuat manusia jadi baik." Kekerasan pada anak akan menjadi celah bagi kebahagian palsu lewat perbuatan merusak, mencuri dan menghajar orang lain.

Kelima, Percaya Diri dan Kreativitas. Salah satu kegiatan di Summerhill adalah musik dan teater. Neill senang dengan teater, yang lebih penting adalah pendapat Neill tentang teater: "akting menjadi metode untuk membangkitkan kepercayaan diri". Neill juga menyebutkan, "Teater kami lebih banyak dimaksudkan untuk memancing kreativitas ketimbang lain-lainnya". Inti dari proses belajar adalah kreativitas. Jika memiliki kreativitas, maka orang akan bisa menghadapi dan memecahkan masalah.

Keenam, Perkembangan Anak. Jauh sebelum teori Kecerdasan Emosi diungkapkan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995, Neill menyebutkan: "saya meyakini bahwa perkembangan emosi anak jauh lebih penting ketimbang kemajuan intelektualnya". Lebih lanjut Neill menyebutkan. "Anak-anak dengan kecerdasan biasa-biasa saja, dengan belajar keras dan susah payah, memang bisa lolos ujian perguruan tinggi. Akan tetapi, selepas kuliah, mereka bakal menjadi guru yang tidak imajinatif, dokter yang sedang-sedang saja, pengacara yang payah." Intelektualitas tanpa minat dan emosi yang mendukung adalah percuma!

Ketujuh, Pendidikan Agama. Neill pernah mengutip: "agama mengajarkan 'jadilah orang baik, maka engkau akanbahagia!', tetapi peribahasa mengatakan sebaliknya 'berbahagialah, maka engkau akan menjadi orang baik!' ". Neill mengamati bahwa agama cenderung melihat segalanya dari sudut pandang "ini dosa" dan "ini tidak". Agama menciptakan ketakutan, dan tidak membuat anak-anak lebih bahagia. Neill menambahkan "Agama bagi anak-anak nyaris selalu berarti ketakutan belaka. Dan, menyuntikkan ketakutan ke dalam kehidupan anak merupakan kejahatan yang paling keji". Ajaran-ajaran agama lebih menekankan ketaatan dari pada aspek tindakan nyata seperti cinta kasih.

Kedelapan, Rumah yang Membahagiakan. Neill menyebutkan "Rumah yang membahagiakan, menurut saya dalah rumah yang di dalamnya ayah dan ibu sepenuhnya berlaku jujur pada anak-anak mereka tanpa memberi kotbah moral. Tak ada ketakutan di dalam rumah seperti ini. Kasih sayng akan tumbuh subur. Di rumah-rumah lain kasih sayang dirusak oleh ketakutan. Orang tua yang memasang harga diri tinggi dan menagih sikap hormat niscaya melarat kasih sayang, Sikap hormat yang dipaksakan selalu menyertakan ketakutan".

Membaca buku Alexander Sutherland Neill dalam terjemahannya dalam bahasa Indonesia, saya seperti menjelajahi "pemikiran kuno" yang terasa relevan dengan pendidikan jaman sekarang ini.


DAFTAR PUSTAKA
Alexander Sutherland Neill. Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan. Jakarta: Serambi, 2007.

Jumat, 12 September 2008

MISTISISME: Spiritualitas yang melampaui Batas Tradisi, SEBUAH HARAPAN?

Dunia yang tanpa mistik sama sekali akan merupakan
dunia yang buta total dan amat sangat menyedihkan

(Aldous Huxley, Penulis Inggris)

Dikotomi subyektif-obyektif pada umumnya dipahami sebagai pertentangan antara Timur dan Barat. Subyektif adalah cara Timur dan obyektif adalah cara Barat. Lebih parah lagi, hal ini terlanjur dianggap bahwa “Timur” itu hanya milik orang Timur, dan demikian juga sebaliknya. Namun postmodernisme telah menanggalkan dikotomi ini dan telah disadari bahwa pencapaian modernisme tidak membawa pada harapan yang lebih baik.

Fritjof Capra dalam “The Turning Point” menyebutkan pendekatan subyektif dan obyektif sebagai suatu kombinasi yang saling melengkapi, dan tidak perlu untuk saling dipertentangkan. Capra menyebutkan obyektif itu sebagai rasional dan subyektif sebagai intuitif. Pemikiran rasional bersifat linier, terfokus dan analitis, yang berfungsi untuk membedakan, mengukur, dan mengelompokkan. Dengan demikian pemikiran rasional cederung terpotong-potong dalam melihat segala sesuatu. Hal ini adalah cara berpikir mekanistik sejak Rene Descartes (1596-1650). Sebaliknya, pemikiran intuitif didasarkan pada pengalaman yang bersifat langsung dan non-intelektual. Hanya saja Capra lebih banyak mengeksplorasi gagasannya mengenai pararelisme Spiritualitas Timur dengan Fisika Modern, sesuai dengan latar belakangnya sebagai seorang fisikawan.

Jika kita mengikuti perkembangan Filsafat Barat, pendekatan yang kian “subyektif” mulai menjadi perhatian terutama sejak Edmund Husserl (1859-1938) mendirikan Fenomenologi. Menurut Husserl, “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung, dengan tidak menggunakan perantara apapun, yang dapat dipakai sebagai kriterium terakhir di bidang filsafat. Husserl menambahkan bahwa kesadaran dan realitas adalah keping mata uang yang sama. Subyek selalu bersifat kesadaran akan sesuatu. Subyek selalu menghadirkan realitas dalam persepsinya sendiri. Realitas ini hanya merupakan aktifitas kesadaran yang memungkinkan seolah-olah obyek menjadi kelihatan. Sehingga apa yang dipahami kesadaran itu tidak akan pernah sama dengan realitas. Tidak mungkin untuk mendiskripsikan kebenaran dengan kerangka teori yang sempurna. Gaston Bachelard (1884-1962) mengatakan, “kebenaran itu tidak lain daripada kesalahan yang dibetulkan”. Sebagai Filsuf Epistimologi, Gaston menyimpulkan seperti itu karena melihat sejarah lahirnya ilmu pengetahuan. Setiap penemuan baru mencoba mendeskripsikan kebenaran, dan tidak jarang membuka kekurangan dan kesalahan teori-teori yang ada sebelumnya. Obyektivitas hanya menjadi suatu kesepakatan yang tidak terlepas dari jerat persepsi yang dibuatnya sendiri.

Walaupun demikian, harus diakui bahwa rasionalisasi agama telah membantu dan memberikan semangat baru terutama kaitannya dengan spiritualitas yang melewati batas tradisi. Damhuri Muhammad (2008) menyinggung tentang Islamisasi Sains yang sudah ada sejak pengujung kurun 14 H. Sejarah kecendekiawan Islam mencatat pemikiran itu mengarah pada sufisme. Dalam tradisi Kristen, Meister Eckhart (1260-1327) menggabungkan pengalaman mistik dengan kekuatan intelektual. Hal itu yang membuat Eckhart dipandang sebagai peletak dasar filsafat dan mistisisme di Jerman. Memang menarik penemuan logika yang pada akhirnya kembali pada sisi intuitif. Jika dulu filsafat dan agama menjadi dua hal yang tidak terjembatani, maka kini jembatan itu telah dibangun dan semakin jelas dalam bentuknya, yaitu mistisisme.

Tradisi mistik pada umumnya memiliki sebuah kesamaan, yaitu adanya penyatuan pada sesuatu yang bersifat transenden. Penyatuan adalah pengalaman yang ditandai dengan hilangnya batas antara subyek dan obyek. Pengalaman ini oleh Bayazid Bistami diekspresikan dalam sebuah kalimat, “Aku mencari Tuhan dan hanya menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan”.

Mistik Jawa juga mengungkapkan hal yang serupa:
Gesang tanpa roh, kumaos tanpa piranti //
Tan wiwitan datan kewasan, tan kena kinaya ngapa //
Ora jaman ora makam, ora arah ora enggon //
Adoh tanpa wangenan, cedak tanpa gepokan //
Ora njaba ora njero, lembut tan kena jinumput //
Gede tan kena kiniranira

(Hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat //
tanpa awal tanpa akhir, tidak dapat diapa siapakan //
tak kenal jaman maupun perhentian, tak berarah tak bertempat //
jauh tak terbatas, dekat tak terkira //
tidak diluar maupun di dalam, halus tak terpungut //
besar tak terkira).

Pada dasarnya semua pengalaman seperti ini bersifat personal. Karena itu penyampaian mistik jarang dalam petunjuk yang detail. Mereka yang tahu akan memilih diam, seperti kemembisuan Sang Buddha ketika diminta menjelaskan sesuatu yang intuitif. Semua itu dalam rangka mengarahkan spiritualitas yang langsung pada jantung eksistensi yang melampaui simbol dan tradisi. Tidak ada jawaban lain selain dengan mengalaminya sendiri.

Agama terorganisir bagaimanapun telah berhasil dalam memberikan patron etika dan turut mengatur kehidupan manusia pada bentuk “kewajaran” tertentu, walaupun sejarah juga mencatat masa kelam perang agama. Meminjam pendapat William James (1902), dia menyebutkan bahwa “agama” adalah rumah dari agama personal. Sebagai rumah agama, agama formal mampu memberikan perilaku standar, namun tidak secara personal. Bahkan kesadaran intuitif dalam agama personal tidak bisa dipaksakan karena kesadaran ini adalah buah dari pengertian yang melewati pengalaman psikologis yang paling dalam.

Wajah asli agama lebih merupakan komunitas kesadaran yang bersifat pengetahuan diri. Karen Armstrong (1993) menyinggung pengetahuan ini dengan memperjelas arti kata “dogma”. Menurutnya, istilah ini pada mulanya digunakan oleh Kristen Yunani untuk menjelaskan tradisi gereja yang bersifat tersembunyi dan rahasia, yang hanya mungkin dipahami secara mistik dan diungkapkan secara simbolik. Belakangan dalam upaya pengembangan Kristen, dogma diartikan sebagai seperangkat pendapat yang bersifat kategorik dan autoratif. Demikian juga terjadi pada hampir semua tradisi agama besar yang kita kenal sekarang ini.

Mistisisme, dalam hal ini, merupakan sebuah harapan yang mampu mempertemukan semua tradisi spiritual dalam cara pandang yang universal. Encyclopedia Britannica (2003) menyebutkan bahwa mistisisme adalah harta karun abad ke-20 yang tersembunyi di pusat-pusat jiwa kita. Jika mistikus Kristen dan Islam memulai dengan “keterbatasan manusia” yang terperosok dalam dosa, maka mistikus Buddhis memulai dengan masalah penderitaan (dukkha) dan ketidakabadian (anicca). Setiap tradisi menunjukkan adanya jalan untuk menuju ketakterbatasan melalui kualitas pikiran yang lebih tinggi. Dalam sebuah pengantar buku “The good Heart” (1996) yang berisi dialog antara Buddhis dengan Kristen, Laurence Freeman menulis, ”Perbedaan jalan dalam kehidupan manusia selalu diikuti ekspresi, dalam keanekaragaman, Sebuah Persatuan dengan Kebenaran. Hanya ada Satu Kebenaran, Satu Tuhan. Satu Kata, tetapi banyak dialek.” Kebenaran itu tak terkatakan. Jika kita benar-benar ingin tahu, maka harus mencari tahu dengan masuk dalam kedalaman pikiran, yang mungkin akan menjadi pekerjaan yang tidak pernah kunjung selesai.


DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun. Bandung: Mizan, 2004.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1996.
Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang, 1997.
Hadi W.M., Abdul. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari, 2004.
His Holiness the Dalai Lama. The Good Heart. Rider, 1996.
James, William. The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-pengalaman Religius. Yogyakarta: Jendela, 2003.
Katz, Steven T (ed.). Menembus Jantung Pengalaman Mistis: Telaah Analisa Filsafat tentang Mistisisme. Yogyakarta: Unggun Religi, 2004.
Paz, Octavio. Levi-Strauss: Empu Antropologi. Yogyakarta: LkiS, 1997.
Rashid, Teja S.M. Dhamma arti Kata dan Penggunaannya dalam Agama Buddha. Jakarta: Bodhi, 1996

PENDIDIKAN YANG HUMANIS


Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup,
Pendidikan adalah hidup itu sendiri.
(John Dewey, Filsuf)

Menarik jika kita kaji terlebih dahulu arti kata sekolah dalam bahasa aslinya, bahasa latin, yaitu schola. Kata itu secara hurufiah berarti “waktu luang”. Alkisah orang Yunani kuno menghabiskan waktu luangnya untuk bertemu orang yang pintar dan bijaksana. Mereka mengajukan pertanyaan, berdiskusi, atau sekedar meminta pendapat, lalu selanjutnya mereka kembali pada pekerjaan dan kehidupannya masing-masing. Kebiasaan dalam mengisi waktu luang pada masayarakat Yunani itu lama-lama berkembang dan menjadi lembaga sekolah dimana orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik di sana.

Ada pengertian dasar lain tentang pendidikan yang bisa melengkapi pemahaman kita. Kata “pendidikan” diambil dari kata “educare”, yang berarti “menarik keluar dari”. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman itu sudah ada dalam diri setiap orang. Pendidik hanya perlu menarik dan mengangkatnya keluar dari pintu pemahaman si pelajar sendiri.

Revolusi Pendidikan
Dalam The Accelerated Lerning Hand Book, Dave Meier menyebutkan bahwa pada abad ke-19, sekolah mulai mengalami penyempitan makna sebagai lembaga yang mengajarkan teori-teori yang bersifat “pasti” bagi murid. Hal ini sudah jauh dari pengertian dasar awal tentang sekolah dan pendidikan. Tugas dari sekolah abad ke-19 adalah mempersiapkan orang untuk menghadapi dunia yang statis dan dapat diramalkan. Win Wenger mengatakan bahwa sekolah abad ke-19 lebih menekankan pada “mengajar”, bukan “mendidik”. Dalam ungkapan Alexander Sutherland Neill, pendiri Summerhill School, “mereka diajari untuk mengetahui, tetapi sayangnya tidak diperkenankan untuk merasa”. Inti pendidikan yang diabaikan adalah keterlibatan akan pemahaman mengenai cara-cara untuk memahami. Malangnya sebagian besar dunia sekolah kita masih dipengaruhi cara pendidikan “mengajar” semacam ini.

Yang menjadi masalah utama bahwa dunia yang statis dan tidak berubah –yang diasumsikan pendidikan abad ke-19—itu adalah tidak ada. Pada penghujung abad ke-21 mulai disadari bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan orang untuk hidup di dunia yang pasang surut, yang sama sekali tidak statis. Orang harus hidup dengan mendayakan segala upaya dan kreativitasnya untuk mengenali masalah dan mengatasi permasalahan.

Ada sebuah statistik.
Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DI Yogyakarta1, tahun 2008 jumlah penganggur yang bergelar sarjana sekitar 21.000 dan 663 di antara mereka bergelar S2. Jumlah itu berasal dari sekitar 148.696 penganggur di seluruh provinsi ini.

Tampak jelas, proses belajar di sekolah itu belum cukup. Penyempitan makna pendidikan bukan hanya abad ke-19 tapi juga dirasakan hingga sekarang.

Yang paling dilupakan bahwa proses belajar adalah seumur hidup. Robert T. Kiyosaki, seorang pendidik finansial dari Amerika, menyebutkan, “untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka yang berhasil baik di sekolah mungkin menghadapi tantangan ekonomi yang sama seperti mereka yang tidak berhasil dengan baik”. Bukan hanya di negara maju, di Indonesia semakin terasa bahwa keberhasilan dalam pekerjaan sering tidak ada kaitannya dengan nilai akademis yang baik. Dunia yang selalu berubah membuat tidak ada resep tunggal yang bisa diterapkan, yang bisa menjamin suatu keberhasilan. Satu-satunya yang menjadi dasar bagi menghadapi tantangan hidup adalah sifat pembelajar.
Belajar adalah untuk memecahkan masalah. Kini revolusi pendidikan sudah menyadari pada kenyataan hidup yang seperti ini.

Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun
menciptakan dan terus menciptakan ide.
(Paulo Freire, Filsuf Pendidikan)

Kreatif dan Memahami
Saya memiliki definisi sederhana tentang Sifat Pembelajar:
Sifat pembelajar adalah sifat yang melekat pada semua aktivitas yang membawa pada pemahaman. Belajar bukan hanya pada aktivitas sekolah, tapi mencakup segala aspek kehidupan. Belajar adalah kehidupan. Selama kita memperoleh pemahaman, maka pada waktu itu kita sedang belajar“.

Apa kaitan antara sifat pembelajar dengan kreativitas?
Dalam keseharian, masalah adalah subyek dari pelajaran. Kreatif adalah proses alami yang ada dalam diri kita semua. Jika kita memiliki kreativitas, maka “masalah” bukan menjadi masalah tetapi sesuatu yang bisa ditingkatkan. Dalam proses pembelajaran yang sesungguhnya, masalah adalah pertanda ada sesuatu yang bisa dipahami dan dipecahkan. Karena itu kreativitas itu bukan hanya mengenai menciptakan alat, menjadi penemu, memiliki nilai yang bagus, dan lain-lain. Pengertian kreativitas adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Memahami dan menjadi kreatif adalah sama. Mengerti adalah menjadi sesuatu yang lebih “baru” --mendapat pemahaman baru. Proses ini berulang terus. Semakin banyak tahu akan menghasilkan pengetahuan baru, dan seterusnya. Sifat pembelajar adalah sifat kreatif itu sendiri.

Anda tidak akan pernah menaklukkan gunung;
anda hanya menaklukkan diri sendiri

(Jim Walker, pendaki Mount Everest)


Pendidikan Sosial
Akan lebih menarik jika kita memahami pendidikan pada masalah sosial.
Dalam Kompas 29 Juni 2008, Wapres Jusuf Kalla mengatakan “Marilah kita menghindari kepemimpinan yang membawa bangsa ini menjadi bangsa pemarah”. Inilah cerminan yang terjadi di Indonesia yang diwarnai banyak kekerasan di tengah kondisi perekonomian yang tidak kunjung membaik. Pada waktu itu Kalla resah dengan situasi masyarakat yang serba marah. “Mahasiswa ingin sesuatu, marah; guru ingin sesuatu, ikutan marah; buruh marah; kepala desa marah, murid marah. Dengan falsafah kalbu, tentu ini dapat diredam”, lanjutnya.

Jika daya pikir dan semangat eksploratif dan kreatif berantakan dari
akar-akarnya, maka apapun yang kita perbuat tidak akan
berbobot dan situasi sosial budaya menjadi sangat rawan.

(YB. Mangunwijaya)

Apakah bisa dikatakan pendidikan sosial kita rapuh?
Jika melihat situasi masyarakat yang marah, sepertinya memang “ya”.
Pendidikan sosial tidak akan berhasil jika tanpa memperhatikan pendidikan individu. Di negara maju seperti Amerika, kekerasanpun masih terjadi sehingga di sana ada yang namanya Resolving Conflict Creatively Program (RCCP), sebagai upaya yang memperhatikan masalah konflik. Fokus dari RCCP ini adalah untuk mencegah adanya tindak kekerasan, namun Linda Lantieri, pendirinya, memandang lebih jauh. Lantieri melihat bahwa keterampilan yang digunakan untuk mencegah tindak kekerasan tak mungkin dipisahkan dengan keterampilan emosional. Mengetahui apa yang dirasakan, atau bagaimana menangani dorongan hati atau rasa sedih untuk mengatasi tindak kekerasan itu sama pentingnya dengan mengatasi amarah.


Pendidikan Emosi
Tampaknya kemarahan bukan masalah sosial melainkan individu. Kemarahan adalah wujud ketidakberdayaan. Dengan marah solusi tidak pernah akan ditemukan. Dibutuhkan kecakapan emosi, kemampuan kreatif dalam mengartikulasikan seluruh kemampuan –daripada marah.
Setelah muncul teori Kecerdasan Majemuk pada tahun 1983 selanjutnya pada tahun 1995 muncul Teori Kecerdasan Emosi (Emotial Intelligence) yang dikemukakan oleh Daniel Goleman. Pada dasarnya teori ini menegaskan kembali bahwa ada kecerdasan non-intelektual, yang memberikan kontribusi bagi keberhasilan. Teori Kecerdasan Emosi ini semakin melengkapi apa yang kita butuhkan tentang pendidikan yang sebenarnya.

Menurut Daniel Goleman, Kecerdasan Intelektual (IQ) hanya menyumbangkan kira-kira 20% bagi faktor-faktor penentuan kesuksesan dalam hidup. Seorang peneliti menyebutkan bahwa 80% sisanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk kelas sosial dan nasib baik. Goleman lebih menyoroti Kecerdasan Emosi sebagai faktor penentu yang dicirikan dengan: kemampuan memotivasi diri sendiri, mengendalikan dorongan hati, berempati, berdoa, dan lain-lain. Jika membandingkannya dengan Kecerdasan Majemuk yang dicetuskan Howard Gardner, Kecerdasan Emosi mencakup Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, dan Kecerdasan Eksistensial.

Sekolah formal sering memberikan soal-soal yang hanya memiliki satu jawaban yang benar, yang sudah bisa diketahui bagaimana cara pemecahannya. Hal seperti ini tidak bisa diterapkan dalam kehidupan. Apa yang kita hadapi adalah masalah yang belum terpecahkan.

Karen Arnold, seorang profesor pendidikan di Boston University, menyebutkan bahwa predikat juara tidak memberikan gambaran apapun tentang bagaimana mereka beraksi terhadap kesulitan-kesulitan hidup. Disinilah kita akan masuk pada Kecerdasaan Emosi, yang termasuk mengenai keterampilan menggunakan keterampilan-keterampilan lain yang kita miliki. Kecerdasan emosi bukanlah mengabaikan kecerdasan yang lain. Kecerdasan emosi adalah sesuatu yang membuat perkembangan diri lebih fokus pada pengenalan masalah dan pemecahannya. Emosi yang terarah dengan baik, akan mengarahkan pada pemahaman, dan kreativitas, itu semua adalah proses pembelajaran yang terbaik.

Sesungguhnya bukan pekerjaan yang membunuh manusia, tetapi
rasa takutlah pembunuh yang kejam
(Ir. Soekarno, Presiden RI Pertama)

Masa kanak-kanak merupakan peluang terbuka yang penting untuk mengarahkan kebiasan-kebiasaan emosional yang mendasar. Golemen menyebutkan sebagai “kesempatan emas”. Perlakuan emosional yang buruk pada anak, tidak jarang menjadi trauma masa kecil yang berdampak pada perkembangan pribadinya kelak. Jika orang tua mengajarkan kasih sayang, kepedulian, cara mengatasi kendala, kerjasama, dan sifat-sifat positif lainnya, maka anak akan hidup dalam kepribadian yang lebih bahagia, lebih terbuka, kooperatif, dan lebih diterima dalam kehidupan sosialnya.

Dalam Sumerhill School, Neill secara tidak langsung juga menyinggung tentang kecerdasan emosi. Dia mengatakan: “Saya percaya bahwa anak yang bermasalah hampir selalu dikarenakan oleh perlakukan yang salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah, sehingga saya berani menunjuk para orangtua dan guru sebagai pihak-pihak yang bertanggungjawab atas persoalan ini.”

Nasib Baik
Apakah ada faktor penentu lain? Nasib baik?
Saya perlu menyisipkan pembahasan tentang nasib baik.
Ada sebuah riset tentang “nasib baik” yang dilakukan oleh Ricard Wiseman, seorang psikolog dari University of Hertfordshire, Inggris.

Kisahnya, Wiseman mengundang para peserta yang merasa dirinya beruntung atau merasa sial. Para peserta diminta menghitung jumlah foto yang ada dalam surat kabar. Namun diam-diam ternyata Wiseman memasang bantuan berupa sebuah iklan tersamar setengah halaman disela-sela surat kabar. Iklan itu tertulis “Berhentilah menghitung, ada 43 foto di surat kabar ini”. Ternyata orang yang merasa dirinya tidak beruntung membutuh waktu sekitar 2 menit untuk menghitung foto di surat kabar itu. Sementara orang yang merasa dirinya beruntung hanya butuh waktu beberapa detik.

Penelitian Ricard Wiseman menunjukkan bahwa keberuntungan tergantung pada pikiran dan kebiasaan. Untuk nasib baik yang tidak bisa dikondisikan, seperti mendapat undian misalnya, itu memang tidak bisa diapa-apakan lagi. Namun sangat jarang kisah sukses yang hanya didasari keberuntungan semacam itu.


Mereka memberi maka mereka bisa hidup, sebab tidak memberi berarti binasa.
(Kahlil Gibran)

Hasil dari Pendidikan
Kita telah cukup banyak membahas teori-teori pendidikan kontemporer. Pada intinya menegaskan bahwa belajar adalah memahami. Namun, apa yang dipahami itu untuk apa? Untuk bekal masa depan! Itu sudah jelas. Tidak ada seorangpun yang ingin belajar hanya untuk tidak memiliki masa depan. Masa depan yang seperti apa? Apakah hanya cukup makan dan hidup layak?

Paulo Freire merumuskan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas dirinya sendiri. Bagi Freire, pendidikan yang terbaik harus menjadi kekuatan penyadar ke arah perubahan yang lebih baik. Pendidikan bukan membuat anak didik menjadi orang yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya –dan menjadi korban atas ketidakberdayaannya.
Saya ingin mengulangi Filosofi Rumah yang telah disebutkan pada bagian awal buku ini untuk memperjelas hal ini.

Filosofi ini meletakkan Cinta Kasih sebagai Fondasi Bangunan, pemberian informasi yang tepat sebagai Tiang Utamanya, dan pendekatan yang sesuai kecenderungan sebagai bahan bakar untuk Membangun Rumah. Dan Penemuan Jati Diri sebagai Atapnya, yang membuat segala hal yang telah dibangunnya menjadi berharga.

Menjadi pembaharu adalah dengan berbagi. Penemuan jati diri adalah berbagi, membuat potensi yang ada dalam diri kita menjadi lebih berguna bagi orang lain. Ungkapan bagi YB Mangunwijaya adalah menjadi homo ludens –manusia yang memiliki budi pekerti yang baik, berkemanusiaan tinggi, bukan homo homini lupus –manusia serigala yang memangsa manusia lainnya. Kebahagiaan adalah penemuan jati diri. Penemuan jati diri adalah cinta kasih yang mengejawantah.