Sabtu, 25 Juli 2009

SUKSES ITU “PASTI”!





Cara termudah untuk menjadi sukses:
Menjadi yang terbaik dalam apa pun yang Anda lakukan
”.
(Thomas J. Leonard)



Ada sebuah eksperimen sederhana tentang niat atau aspirasi yang bisa mewujudkan kenyataan.
Ambil seutas benang dan ikatkan pada sebuah bandul. Saya sering menyarankan bandul itu adalah sebuah cincin. Setelah itu angkat ujung benang tersebut dengan tangan Anda.

Cincin itu mungkin sedikit bergerak. Yang penting, tenangkan cincin itu, biarkan bandul itu diam sejenak.

Setelah itu, lakukan dengan niat tertentu.
Maksud saya, perintahkan cincin itu bergerak dengan pola lingkaran.
Amati apa yang terjadi.

Cincin itu akan bergerak dengan pola melingkar.
Wah, mungkin ini kebetulan.

Coba tenangkan cincin itu lagi.
Sekarang perintahkan cincin itu bergerak dengan pola elips yang memanjang.
Amati apa yang terjadi.
Apakah itu kebetulan?

Masih banyak bukti yang menjelaskan bahwa niat atau aspirasi dari pikiran dapat mempengaruhi kehidupan kita.

Para terapis sering membantu para kliennya dengan memprogram ulang bawah sadar untuk menentukan niat atau aspirasi tertentu. Pada umumnya, niat itu diarahkan pada kesuksesan finansial, kesehatan, meningkatkan rasa percaya diri, bahkan untuk menyelesaikan permasalahan neurotik.

Sebagaimana yang sering saya tekankan dalam USING NO WAY AS WAY!
Spiritualitas adalah kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian dalam hidup.

Seberapa hebat dan mulia misi dan visi kita, tujuan kita, niat kita, entah ingin sukses, ingin memiliki tahapan kehidupan tertentu, yang jelas proses menuju tujuan dan termasuk tujuan yang kita maksudkan itu selalu dalam ruang lingkup ketidakpastian.

Banyak orang mengkhawatirkan masa depannya.
Apakah bisnis yang baru dirintisnya bisa laku dan berhasil?
Apakah dia bisa sukses dan menafkahi keluarganya dengan baik?
Masih banyak harapan-harapan lainnya.

Pada umumnya, orang sulit menerima ketidakpastian dan mencari kepastian dalam tujuan. Padahal ketidakpastian adalah sesuatu yang akan kita jumpai sepanjang hidup.

Secara metafisis, niat atau aspirasi selalu berhasil mewujudkan menjadi kenyataan. Hanya saja masalahnya adalah waktu, kapan benih itu akan menjadi pohon. Terlepas, pohon itupun suatu saat akan berubah diterpa usia.

Kemampuan spiritual bermain sangat penting dalam hidup.
Pada umumnya orang ingin memiliki masa depan yang sukses, namun dia menghamburkan energinya pada rasa tidak suka pada keadaan masa kini.

Benih yang telah di tanam bawah sadar justru tidak diperhatikan dan dipelihara dengan baik, karena dia lebih banyak mempersoalkan ketidakpuasan dan terlalu ngotot dengan ide “benih instan”.
Jika demikian, maka SUKSES ITU “PASTI”! Yang menjadi masalah bukan tercapai atau tidaknya tujuan itu. Yang menjadi masalah adalah bagaimana untuk selalu hidup bahagia.

Bukankah bahagia itu justru membuat proses menuju kesuksesan lebih efektif?

Selasa, 14 Juli 2009

SIAPAKAH AKU? Melampaui De-Rasionalisasi & Re-Rasionalisasi




Hakikat sifat kita adalah diam, berbicara hanya sekadar tambahan.
(Kahlil Gibran)

Zen pada intinya adalah seni menyikapkan watak sejati diri kita, dan
menunjukkan jalan dari keterikatan menuju kebebasan.

(D.T. Suzuki)

Aku tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Aku’.”
(Ajahn Chah)

Mereka yang tahu akan diam.”
(Lao Tzu)

Tuhan direndahkan hingga ke dalam kontradiksi kehidupan,
bukannya kedalam transfigurasinya, dan ‘Ya’ yang abadi
.”
(Nietzsche)


Pemahaman jati diri sejati adalah salah satu ciri pendekatan dalam tradisi mistik. Mungkin ketika kita banyak membaca literatur filsafat, kita cenderung memahami jati diri sebagai peranan “Aku” dalam melakukan rasionalisasi. Menjadi pandai, dan mampu memahami sesuatu secara kritis adalah identitas diri yang menjadi daya tarik.

Saya merasakan justru banyak gelisah, dan mudah agresif terutama dalam menghadapi situasi yang argumentatif. Hanya menjadi kritis, itu tidak akan memberi perbaikan. Dalam pandangan saya, menjadi kritis dan suka dengan filsafat mesti harus masuk dalam pendekatan mistik.

Mistik disini bukanlah hal gaib, suatu bentuk degradasi pemikiran atau de-rasionalisasi. Mistik juga tidak berarti re-rasionalisasi. De-rasionalisasi dan Re-rasionalisasi, keduanya, adalah siklus kebingungan manusia. Pendekatan mistik adalah melampaui keduanya.

De-rasionalisasi yang didasari keyakinan buta dan harapan adalah wujud ketidakberdayaan. Karena itu, Meister Eckhart –sang mistikus Kristen, pernah berkata, “Aku berdoa kepada Tuhan untuk membebaskan aku dari Dia.” Beragama bukanlah solusi imajiner dengan dalih keyakinan, tapi menyalami –sehingga keyakinan tidak lagi buta. Karena keyakinan yang sejati adalah pengetahuan yang sejati.

Sementara re-rasionalisasi sekilas menuju pada kebenaran. Namun kita akan semakin menyadari bahwa pemahaman rasio hanyalah peta yang tidak akan pernah menjadi wilayah. Satu-satunya manfaat peta adalah untuk petunjuk jalan –tanpa harus berambisi menjadi peta sempurna. Master Hui Neng, sesepuh ke-6 Zen, mengumpamakannya seperti jari telunjuk yang mengarah pada terang bulan yang indah di malam hari. Telunjuk tidak akan pernah menjadi bulan.

Sifat hakiki kita adalah diam. Sifat sejati kita adalah mengalami dalam keheningan, bukan menciptakan keributan dan prasangka. Upaya menciptakan adalah wujud penderitaan, berusaha mengatasi banyak hal demi imbalan kebahagiaan adalah absurd (baca: sia-sia). Kenyataannya, gerak upaya kita tidak pernah menjadi kebahagiaan. Upaya itu hanya memberi kesenangan sesaat. Dengan berdiam, kebahagiaan itu akan hadir secara alami tanpa harus diperintah dan direncanakan dengan penuh perhitungan.

Menjadi seorang mistikus adalah sekedar tahu, tanpa sok tahu, hanya mengalir bersama arus perubahan. Nietzsche memahaminya dengan berkata “Ya” pada kehidupan. Tyler T. Roberts memahami dengan mengatakan, “mengetahui diri sendiri sebagai becoming, orang mengetahui diri sendiri sebagai yang sudah menjadi ‘sesuatu yang lain’.” Ataupun seperti ungkapan Saint Agustine, “If you can understand it, then it is not God.

Guru-Guru Zen sering memancing dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah Aku?” Jika masih ada “Aku” yang berbicara, maka itu hanya re-rasionalisasi. Jika tidak peduli dengan filsafat rumit dan memilih asyik dengan sandaran “harapan”, itu adalah de-rasionalisasi. Menjawab pertanyaan tentang jati diri itu adalah dengan berdiam, penyadaran akan adanya tanpa “Aku”. “Aku tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Aku’.”

Tidakkah kita sudah menyadarinya?

Jumat, 10 Juli 2009

EKSKLUSIVITAS BUKANLAH SPIRITUALITAS




Adalah berbahaya untuk mengisolasi diri secara berlebihan,
menghindari batas-batas masyarakat.

(Soren Kierkegaard)


Ada sebuah kisah tentang seorang raja telanjang yang merasa dirinya telah memakai pakaian kebesaran yang paling indah.
Sang Raja amat peduli dengan pakaian kebesarannya, sehingga membuat penjahit istana kebingungan untuk menerjemahkan keinginan raja. Hingga suatu saat penjahit itu menawarkan sebuah pakaian kebesaran yang paling anggun dan mulia.
Ini yang mulia, pakaian kebesaran terbaik yang pernah ada di kerajaan ini”, kata sang penjahit.
Tapi aku tidak melihat sesuatu apapun, ” raja itu berkata.
Pakaian ini memang tidak terlihat karena terlalu berharga dan hanya cocok digunakan oleh raja yang terhormat.”
Dicobanya pakaian itu, namun sang raja tidak merasa dirinya telanjang –terlena oleh kehormatan yang dikatakan penjahit istana.

Sang raja dalam “pakaian kebesarannya” itu menanyakan pada setiap orang di istana apakah indah pakaiannya. Dan selalu pegawai istana mengatakan bahwa pakaian itu sangat indah dan menakjubkan. Raja pun tersenyum bangga dan merasa menjadi simbol kerajaan yang paling baik dan dimuliakan. Setiap orang di sekeliling istana dan para menteri telah sepakat untuk menjawab sesuai dengan apa yang diinginkan Sang Raja itu –karena tidak ada seorangpun yang berani terhadap raja.

Hingga suatu Sang Raja ingin keluar dari istana dengan maksud berkeliling melihat wilayah kerajaan sambil memamerkan pakaian kebesarannya. Para rakyat telah diberitahukan satu hari sebelumnya bahwa Sang Raja akan berkeliling dan tetap memberikan penghormatan yang tinggi walaupun raja akan berkeliling dengan telanjang.

Tiba saatnya raja telanjang itu berkeliling luar istana beserta para rombongan kerajaan. Sepanjang perjalanan, semua rakyat memberikan penghormatan dan menampilkan mimik wajah yang kagum. Hingga terdengar suara seorang bocah kecil yang dengan lugunya berkata pada orang tuanya.
Bu, mengapa raja itu telanjang?

Kita sering mencari penghiburan dengan wilayah sosial kita. Kita mungkin memilih istri hanya karena dia adalah orang yang bisa memuaskan ego kita dengan memberikan kekaguman tertentu. Kita mungkin berteman dengan nyaman pada orang-orang tertentu saja, dan menghindari orang-orang yang tidak kita sukai atau berbeda pandangan dengan diri kita. Bahkan mungkin kita memilih komunitas spiritual, bukan karena kita berspiritual tapi karena tidak mampu hidup berdampingan dengan orang yang berbeda tradisi dengan kita.

Memiliki kesimbangan bathin berarti bahwa orang-orang boleh mengatakan hal buruk tentang kita dan kita bisa memakluminya. Jika kita mudah terluka atau tersinggung oleh hidup, maka selamanya kita akan melarikan diri dari keadaan, atau kita hidup dengan ditemani sekelompok “penjilat” –yang membuat kita semakin sulit untuk memahami diri sendiri.

Thich Nhat Hanh, seorang Guru Meditasi, pernah menulis: “Meditasi bukan ditujukan agar kita keluar dan menarik diri dari masyarakat, namun untuk mempersiapkan diri kita memasuki kembali dunia masyarakat.” Jika kita belum membawa manfaat praktik dalam kehidupan di tengah masyarakat, maka kita hanya mengambil kesenangan dalam “spiritualitas”. Karena keberhasilan latihan diukur ketika kita berada keadaan yang biasanya tidak nyaman di tengah masyarakat.

Kamis, 02 Juli 2009

BELAJAR TENTANG KETIDAKPASTIAN DALAM “THE OXFORD MURDERS”




Sayangnya bagaimanapun.
Hal ini tak ada sangkut pautnya dengan kebenaran ...
Ini hanyalah rasa takut
”.
(Profesor Arthur Seldom, dalam film “The Oxford Murders”)


Ada sebuah adegan menarik dalam film “The Oxford Murders”.
Pada waktu itu seorang profesor dan ahli matematika bernama Arthur Seldom sedang mempresentasikan sebuah buku karangannya di atas podium dalam sebuah aula yang dihadiri banyak mahasiswa di Oxford.

Sang profesor berkata,
Tidak ada cara yang bisa menemukan kebenaran mutlak. Argumen tak terbantahkan yang bisa bantu menjawab pertanyaan umat manusia. Dengan begitu filosofi telah mati. Karena dimana kita tidak bisa berbicara dengan begitu kita harus berdiam diri”.

Ada keheningan sejenak ketika profesor selesai berbicara uraian yang singkat dan padat itu, namun tiba-tiba seorang mahasiswa bernama Martin menunjukkan diri ditengah kerumunan audiens yang lain.

Oh, sepertinya ada yang ingin bicara. Sepertinya kau tidak setuju dengan pendapat ini. Itu mungkin artinya kau telah temukan kontradiksi dalam argumen dari risalah itu atau ada kebenaran mutlak yang akan kau bagi dengan kita”. Sang profesor memperhatikan mahasiswa itu.

Aku percaya pada angka pi (3,14),” kata Martin sambil berdiri.
Audiens yang lain tertawa.

“Aku tidak mengerti. Kau bilang percaya pada apa?”, tanya profesor sambil maju dan turun dari podium mendekati Martin.

Pada angka pi. Dalam seksi emas. Urutan fibonacci. Inti dari alam bersifat matematis. Ada arti tersembunyi dibalik kenyataan. Hal yang teratur mengikuti modelnya. Sebuah skema, sebuah urutan logis. Bahkan butiran salju juga memiliki basis angka-angka pada strukturnya. Karena itu jika kita berhasil menemukan arti tersembunyi dari angka-angka kita akan mengetahui arti tersembunyi dari kenyataan”.

Mengesankan. Menerjemahkan kata-kata Fobonacci dalam bahasa Inggris”, kata profesor Seldom yang segera diiringi tawa audiens.

Kita dapati diri kita dalam pembelaan matematika yang segar dan bersemangat yang seolah angka-angka itu juga merupakan ide nyata dalam kehidupan. Lagipula ini bukan hal baru. Karena manusia tak bisa menyatukan pikiran dan benda. Ia berusaha untuk merubah beberapa perbedaan dalam pemikiran. Karena ia tak bisa menerima konsep bahwa abstrak murni hanya ada dibenak kita. Keindahan dan harmoni dari butiran salju.
Para audiens tertawa setelah profesor menyebutkan kalimat terakhir tentang harmoni butiran salju.

Sambil kembali pada podium, profesor berkata,
Indah sekali. Kupu-kupu yang kepakkan sayapnya dan menyebabkan badai di belahan dunia lain. Kita sudah mendengar tentang kupu-kupu itu selama berabad-abad. Tapi siapa yang bisa menduga sebuah badai? Tak seorangpun.”

Tiba-tiba profesor Seldom berbalik dan ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
Katakan padaku! Dimana keindahan dan harmoni dari kanker? Apa yang membuat sebuah sel tiba-tiba memutuskan merubah dirinya menjadi tumor ganas pembunuh dan menghancurkan sel-sel lainnya di dalam tubuh yang sehat. Ada yang tahu?

Semua audiens terdiam, termasuk Martin. Tidak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan profesor Seldom.
Akhirnya, profesor menjawab sendiri.
Nah, karena kita lebih suka berpikir soal salju dan kupu-kupu dan penderitaan. Perang? Atau buku itu?”, sambil menunjuk buku karangannya di podium.
Kenapa? Karena kita butuh berpikir bahwa hidup memiliki arti. Tapi semuanya terjadi karena logika dan bukan karena kebetulan.”

Profesor masih berusaha menjelaskan sambil kembali ke atas podium,
Jika kutulis 2 & 4 & 6, maka kita sudah tahu berikutnya pasti 8. Kita bisa menduganya. Kita bukan dalam genggaman takdir.”

Di atas podium, profesor menutup presentasinya dengan pemahaman yang mendalam.
Sayangnya bagaimanapun. Hal ini tak ada sangkut pautnya dengan kebenaran. Setuju? Ini hanyalah rasa takut. Menyedihkan. Begitulah.”

* * *

Ketidakpastian adalah kenyataan yang tidak hanya dipahami oleh tradisi spiritual, tetapi juga pada dunia fisika dan matematika, sebagaimana yang diungkapkan dalam tokoh Profesor Arthur Seldom. Manusia mencari kepastian bukanlah untuk menjadi penguasa alam, dekat dengan Tuhan, ataupun untuk merasakan kedamaian. Semua itu lebih didasari hal negatif yang mendasar, yaitu rasa takut, yang tidak lain adalah penderitaan.

Menjadi bahagia bukanlah berasumsi tentang kepastian. Bahagia akan hadir secara alami dari dalam justru pada saat kita mengakui ketidakpastian dalam hidup.

Pada akhirnya, cara bahagia dengan menghadapi ketidakpastian adalah sesuatu yang kita butuhkan.