Kamis, 10 September 2009

DIALOG LINTAS AGAMA: POLA PEMBELAJARAN 'BARU'





Saya pernah mengikuti sebuah dialog antar beragama pada tahun 1998 di sebuah gedung yang dikelola oleh Muhamadiyah Yogya, tidak lama setelah rezim Soeharto jatuh.

Acara itu diadakan oleh Dianinterfidei, salah satu organisasi yang mengenalkan lintas agama di Yogya.

TH. Sumartana mempertanyakan, "mengapa bisa terjadi konflik antar agama?"

Ada banyak diskusi dan sudut pandang pada waktu itu. TH Sumartana sendiri, sebagai pemimpin Dian interfidei, merasa bahwa konflik beragama terjadi karena adanya pembunuhan theologis, dimana menilai orang yang berbeda teologi dianggap bidah dan harus diperangi.

Tapi ada satu pendapat lain, yang mengatakan bahwa kita terlanjur banyak dididik secara agama dgn menyembungikan realitas pluralistik. Kesalahan ini menurutnya berpangkal pada pengkondisian orde baru, yang turut membungkam oposisi. Karena itu elit agama juga suka ikut-ikutan & berespon sama terhadap "oposisi". Sehingga bukan love atau praktik universal yang ditampilkan, tapi egoisme identitas.

Tahun 1998 adalah 11 thn yg lalu. Sayang hingga sekarang pendidikan agama yg mengedepankan wawasan pluralistik masih saja langka.

Sejak acara itu saya tertarik untuk memahami cara pandang orang lain terlebih agama lain. Hingga sekarang jika saya diminta menulis di Majalah Buddhis saya selalu mengedepankan wawasan yang inklusif, bukan eksklusif. Pernah sebuah majalah Buddhis menggusung sebuah topik "Mengapa beragama Buddha?". Karena nuansanya ekslusif dan memahami agama secara "kaku", pada waktu itu saya tidak berminat mengirim tulisan di sana, walaupun jauh-jauh hari saya telah ditawari.

Saya tidak malu dan merasa rugi dalam mengutip Mahatma Gandhi, Mother Theresa, [Alm] Romo Mangun Wijaya, Kabir, Rumi, dll.

Mereka yang berbeda bukanlah ancaman, tapi justru suatu bentuk pembelajaran yang baru.

Saya heran mengapa masih saja orang membatasi diri untuk masuk pada samudera spiritual yang begitu luas ini.

Selasa, 01 September 2009

TREND SPIRITUALITAS UNIVERSAL




Satu kebenaran ilmiah baru tidak menang dengan
cara menyakinkan lawannya dan membuat mereka
menyadari kebenaran, tapi sebaliknya karena lawannya
akhirnya mati dan satu generasi baru akrab dengan
kebenaran ilmiah itu bertambah besar.

(Max Planck, Fisikawan Jerman)


Ada sebuah buku berjudul “The Good Heart”, berisi transkrip dialog His Holiness The Dalai Lama XIV dengan komunitas John Main yang pimpin oleh seorang pastur bernama Laurence Freeman. John Main sendiri adalah seorang biarawan Benedictine yang menemukan kembali tradisi meditasi Kristen yang telah lama hilang. Pada tahun 1975, John Main mendirikan Christian Meditation Center.

Buku ini mencatat dialog penuh penghargaan antara dua tradisi yang berbeda, dari sudut pandang praktisi, bukan sekedar dogma kaku yang buntu.
Sangat disayangkan spirit lintas agama seperti ini masih jarang di Indonesia, walaupun sewaktu di Yogya dulu saya sering mengikuti seminar-seminar semacam ini.

Saya tulis ulang beberapa kutipan dari buku itu sekaligus komentar.

Saint Agustine doubtlessly believed in God, but he was also sure that God is unknowable to the thinking mind alone. ‘If you can understand it,’ he said, ‘then it is not God.’ His contemporary Saint Gregory of Nyssa, a great mystical teacher of the Eastern Church, said that all ideas about God run the risk becoming idols.

Jika seseorang secara tulus menerima rahmat Tuhan dalam keadaan apapun baik atau buruk. Kata TUHAN yang diucapkan dalam hati terasa begitu indah dan membebaskan.
Tapi jika penyebutan TUHAN itu sudah sepihak. Dalam arti, hal-hal enak aja yang diaminin, hal-hal buruk tidak diaminin, bahkan dihindari. Itu sudah ada self-ego yang berperan. Itu yang saya kritik sebagai penyebutan TUHANTUHANTUHANTUHAN.....
Selfish reason menjadi dasar utama, maka ketika itu tanpa disadari yang disebut adalah HANTU. Itu adalah yang dimaksud GOD RUN THE RISK BECOMING IDOLS.

Yang menarik dari statement Dalai Lama tentang pribadi Yesus.
For me, as a Buddhist, my attitude toward Jesus Christ is that he was either a fully enlightened being or a bodhisattva of a very high spiritual realization”.

Jika dogma-dogma dibuang, yang ada adalah Yesus sebagai praktisi yang memiliki tingkat realisasi yang tinggi. Realisasi yang tinggi itu adalah hadirnya Tuhan dalam diri, yang menjadi fondasi penting dalam trinitas Gereja. Ada beberapa bagian dari buku itu yang menjelaskan ajaran trinitas gereja dengan tiga perwujudan (trikaya) dalam tradisi mahayana. Akan terlalu panjang untuk menunjukkan adanya pararelisme jika saya jelaskan disini.

Bagian pengantar buku, Pastor Laurence Freeman juga memberikan kalimat kebersamaan yang indah. “The different paths human beings will always follow express, in their diversity, the unity of Truth. There is one Truth, one God. One Word, but many dialects.

Sebuah sumber lain, dalam “Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik”, yang diterbitkan oleh Kanisius, F.X.E.Armada Riyanto, CM., menyebutkan,
Sebuah wajah gereja yang inklusif tercantum dalam Gaudium Et Spes 22 dikatakan bahwa upaya keselamatan diluar intansi gereja adalah mungkin, karena pekerjaan Roh Kudus tidak dibatasi oleh Gereja.

Hanya tinggal waktu, dan akan berjalan secara alami.
Interpretasi ajaran agama akan lebih mengutamakan ezensi dari pada dogma.
Ada sebuah trend spiritualitas universal.


Saya teringat dengan Jostein Gaardner, penulis novel laris “Dunia Sophie”, ketika ditanya oleh redaksi TEMPO.
Jika dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh besar di dunia, dia ingin bertemu dengan siapa?
Gaardner menjawab, “Sokrates, Yesus, dan Buddha.
Alasannya sederhana. Ketiganya tidak pernah menulis kitab suci. Jadi Gaardner rupanya ingin berdiskusi dengan tuntas dan jelas dengan tiga tokoh legenda tersebut.

Harus diakui memang perkembang filsafat, theology, pendekatan baru tentang apapun termasuk spiritualitas dan agama, tidak serta merta bisa diterima oleh banyak pihak. Tapi berangsur-angsur spiritualitas menemukan konteks zamannya untuk memiliki wajah yang penuh cinta kasih.

Dan nampaknya, cinta kasih itu sungguh relevan.


Jika mau baca online buku The Good Heart kunjungi http://books.google.co.id/books?id=lvYPx8q4Yt4C&printsec=frontcover#v=onepage&q=&f=false