Senin, 30 November 2009

Melampaui Simbol Agama




Mengapa Tuhan tertawa di saat manusia berpikir?
Sebab ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya.

(Milan Kundera)


Sekitar tahun 2001, saya baru mengetahui bahwa beberapa pemuka agama memperkaya pengalaman rohaninya dengan wawasan yang lebih luas. Mereka mempelajari sesuatu yang disebut hermeneutik, yaitu sebuah metode tertentu untuk menafsirkan sesuatu.
Jika metode tersebut diterapkan pada rasionalisasi agama, maka dapat dipahami bahwa penafsiran terhadap agama diperoleh dengan mencari dan menganalisa makna di balik teks kitab suci. Keyakinan agama menjadi tidak harus mengikuti teks secara harafiah, karena disadari bahwa beragama menjadi berbahaya ketika terjadi salah tafsir.

Tanpa bermaksud mengutak-atik teori filsafat yang rumit, mari kita bicara sedikit tentang hermeneutik. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis Hermes. Hermeneutik sering diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

Dalam hermeneutik dikenal adanya keyakinan akan makna transendental. Transendental adalah makna yang tidak tampak dalam teks. Menurut Jacques Derrida, seorang Filsuf Perancis yang paling banyak memengaruhi tradisi hermeneutik saat ini, bahwa makna itu adalah hasil ciptaan atau permainan dari teks itu sendiri. Artinya, antara teks dan makna sebetulnya tidak ada hubungan langsung. Misalnya, kata “kursi” digunakan untuk mewakili tempat duduk. Kata bahasa Inggris “chair” digunakan untuk maksud yang sama. Namun, apa hubungannya “kursi” dengan realitas di luar sana yang mengacu pada suatu benda yang berfungsi sebagai tempat duduk? Mengapa harus “kursi”? Mengapa harus “chair”? Mengapa tidak “meja”? Mengapa tidak menggunakan “table”? Mengapa tidak dibalik? Kata “table” untuk menunjuk realitas tempat duduk, dan sebaliknya. Pada dasarnya, tidak ada relasi yang kuat antara teks dan realitas yang ingin diwakilinya. Pikirkan sejenak! Tidak ada hubungan antara sebuah kata dan sesuatu yang dimaksud, bukan?

Makna transendental juga menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada makna dalam teks itu, kitalah yang kreatif membuat maknanya. Ketika sebuah pemahaman dibahasakan, maka pada saat itu “pemahaman” telah mati, hanya menjadi simbol.

Vincent Crapanzano pernah menjelaskan hal ini dalam analogi yang lebih sederhana. Vincent mengingatkan kembali pada tokoh Hermes dalam legenda Yunani Kuno. Hermes adalah seorang tokoh mitologi yang bertugas menerjemahkan pesan-pesan Dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang bisa dimengerti umat manusia. Hermes berjanji kepada Dewa Zeus untuk tidak berbohong, tetapi ia tidak berjanji untuk mengatakan seluruhnya dari kebenaran yang diterimanya. Namun, walaupun Hermes tidak bermaksud untuk berbohong pada siapa pun, akan selalu ada sesuatu yang tidak tersampaikan olehnya. Jika kita kembali pada masalah penafsiran agama, terutama penafsiran kitab suci, maka agama tidak akan pernah lepas dari kekurangan dalam menjelaskan kebenaran karena keterbatasan dari tulisan itu sendiri.
...

Kita telah mengetahui bahwa Agama terbagi menjadi dua bagian, yaitu Agama Tuhan (Samawi)—yang dipercaya berasal dari Wahyu Tuhan, dan Agama Manusia—sebuah pandangan hidup yang bersumber pada ajaran manusia sendiri. Baik Agama Tuhan maupun Agama Manusia bernasib sama. Semua pesan spiritual membutuhkan pemahaman dan interpretasi. Wahyu tidak hanya dimengerti sebatas kitab suci yang harus diyakini, tetapi juga dipahami. Karena adanya proses pemahaman itu, Agama Tuhan pun menjadi Agama Manusia. Kebijaksanaan Intuitif adalah tentang pemahaman ini. Jika memang dibutuhkan keyakinan, maka keyakinan itu harus dibangun atas dasar pemahaman. Pada tahap awal kita butuh keyakinan akan sesuatu yang belum kita mengerti sebelumnya. Namun, pada tahap selanjutnya dan tahap akhir kita butuh pemahaman yang lebih mendalam. Jika tidak, maka selamanya kita tidak akan pernah mengerti.


Dikutip dari buku USING NO WAY AS WAY!

Minggu, 22 November 2009

Confucius & Yan Hui



Barusan dapat email yang begitu menginspirasi. Coba simak!


Yan Hui adalah murid
kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya
baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu
toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati
pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli
berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?"
Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah
diperdebatkan lagi"

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa
minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius.
Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan."

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"

Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong
untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"

Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu."

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah
Confusius tau duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil
tertawa: "3x8 = 23.
Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia."

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar
Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada
pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.
Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak
sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak
mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan
keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya.
Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali
setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan
lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh." Yan Hui
bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin
kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui
ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan
dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia
meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi,
petir menyambar dan pohon itu hancur.

Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.
Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam
dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk
membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada
seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat
marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya,
dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan
lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata:
"Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?" Confusius berkata:
"Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir,
makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu
kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu
agar jangan membunuh". Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali,
murid sangatlah kagum."

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga..
Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru
bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi
jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar,
si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.
Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata :
"Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu." Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita: Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh
dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu
bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah
kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar
kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran
itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan.
Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
(Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti)

Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat
penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti)
Bersikeras melawan istri. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Istri
tidak mau menghirau kamu, semua harus "do it yourself")
Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
(Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman)

Rabu, 11 November 2009

MENCINTAI ORANG LAIN




“Jika Anda menilai orang, Anda tak punya waktu untuk mengasihinya.
(Bunda Teresa)

Suatu waktu Aku melihat sebuah pengemis yang bertubuh cacat. Tubuhnya nampak tidak lazim, melengkung ke kanan, sehingga jika berjalan bagian atas tubuhnya miring. Seakan-akan kepala sejajar dengan tinggi pinggangnya. Belum pernah Aku melihat pengemis seperti itu, terlebih ketika berhenti di perempatan jalan raya.
Seorang pengemudi yang lain memberi sedekah yang tidak seberapa. Pengemis itu mendekat dan mengambilnya walaupun terlihat berjalan agak sempoyongan karena berat tubuh yang tidak seimbang.

Pada saat ada pengemudi lain, yang agak jauh dari pengemudi yang pertama itu memberi sedekah, seorang penjaja koran membantu dengan mengambilkan uang sedekah itu pada Sang Pengemis.

Akupun merasa iba dan ikut memberi sedekah. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Kita ini mudah sekali kasihan pada orang yang nasibnya jauh dibawah kita. Obyek kasihan yang teramat sulit adalah terhadap orang yang sombong, yang merasa memiliki keadaan yang lebih baik dari kita. Mungkin hal itulah yang membuat Bunda Teresa pernah berkata, “Jika Anda menilai orang, Anda tak punya waktu untuk mengasihinya.”