Rabu, 10 Desember 2008

JANGAN TAKUT!

Diriku mungkin mirip seperti tokoh Faust yang ditulis oleh Goethe, pujangga Jerman yang tersohor itu. Hanya saja aku bukan menjual diri ke setan. Lebih tepatnya, setan dalam kisah Faust itu, saya mengerti, bukan sebagai mahkluk yang berada di luar, yang selalu menjebak manusia untuk jatuh dalam dosa. Setan itu adalah simbol dari kemerosotan yang masih berada dalam diri pikiran kita sendiri.

Kita tidak perlu kekanak-kanakan. Jika memang ada yang berhasil menjebak saya, itu karena saya telah memberinya peluang untuk menjebak diriku. Pada akhirnya, akulah yang menjadi penyebab atas apa yang aku alami ini.

Banyak belajar adalah aksi yang didasari obsesi akan kepastian. Kepastian akan keberhasilan. Sejak kecil kita didoktrin untuk sekolah biar pintar, dan buntutnya selalu hidup sukses dan memiliki kekayaan berlimpah. Orang tua sering menasihatkan anak sulungnya untuk sukses lebih dulu, lalu ikut mengangkat harkat dan martabat adik-adiknya. Cita-cita yang tidak buruk, tapi sebenarnya bukan itu yang perlu menjadi tujuan kita.

Faust dikisahkan sebagai orang pintar yang gila ilmu, yang ingin belajar apa saja. Hingga suatu saat ingin lebih hebat lagi, dia menjual diri ke setan dan konon setan itu akan berjanji memberikan segala yang dimauinya.
Beberapa sastrawan mengartikan Faust sebagai simbol arogansi Barat, yang dirasa telah mencapai puncak peradaban. Kita tahu semua ilmu, ideologi, gaya hidup, bahkan lagu selalu berkiblat pada Barat. Jika tidak bisa mengikuti trend Barat, kita dianggap terbelakang dan ketinggalan zaman. Tapi aku mengartikan Faust sebagai diriku, sebagai diri kita semua, yang terobsesi mengejar segala kepastian dalam hidup.

Suatu saat aku terkejut. Bukankah Nietzsche, Sartre, Freud, mereka semua adalah orang pandai yang banyak ilmu, tapi mereka adalah orang yang menderita? Bukankah diriku juga, walaupun aku tidak sejenius mereka, tapi banyak buku yang kupelajari, aku jadi terluka oleh perasaan “sok tahu” yang membanggakan ini.
Benarkah banyak tahu itu otomatis tidak membuat kita bahagia? Apa tujuan hidup? Mungkin untuk lebih dekat dengan Tuhan. Atau mungkin untuk melayani Tuhan. Tapi sering aku jumpai mereka yang mengaku sebagai “pelayan Tuhan” justru tidak bisa melayani sesamanya dengan lebih baik. Mungkin dipikirnya orang lain bukanlah Tuhan, karena itu tidak dilayani sebaik Tuhannya.

Aku tidak suka dengan ide-ide Tuhan. Bukan berarti aku tidak berTuhan? Tapi karena Tuhan mudah sekali dipelintir demi hasrat pemenuhan pribadi, seperti opini pribadi, prinsip diri, termasuk identitas kelompok. Tuhan sebagai sosok yang agung, justru menjadi sosok yang paling mudah dikibuli manusia. Tuhan menjadi sebuah kemandekan, semacam kepastian yang dipaksa-paksakan.

Filsafat India yang menemukan angka nol, tidak menyukai kepastian mutlak. Bahkan Nagarjuna menyebutkan segalanya sebagai kosong, sunya. Kosong bukanlah atheis, tapi justru pemahaman akan realitas yang paling utuh dan sempurna. Kosong membuat kemandekan tidak memiliki ruang. Bahkan istilah “Tuhan” itu gak perlu lagi. Jika memang ada “Tuhan”, maka yang paling baik adalah tidak mendefinisikannya. Jika terpaksa, gunakan istilah yang berkonotasi bukan kemandekan. Entah itu Sunya, Tao, Tuhan Mistik, atau sekedar simbol. Theis tidaklah lebih bagus dibanding Atheis. Itu hanya istilah yang menjebak. Lebih penting menjadi spiritualis daripada Theis ataupun Atheis.

Spiritualitas adalah pengalaman yang diiringi penghayatan yang seutuhnya, saking utuhnya dia tak lagi berkata-kata. Berkomat-kamit adalah pertanda tidak tahu. Semakin banyak berbicara, dia semakin tidak bisa menjadi utuh. Robert Bernadette yang terinspirasi dengan Mistik Kristen menyebutkan hilangnya diri adalah memahami Tuhan. Selama ada diri yang berpikir, maka Tuhan itu tidak dapat diketahui. Konsekuensi, ketika Tuhan itu menjadi pengalaman, maka “tak terkata” adalah hasilnya.
Saya teringat sebuah kalimat bijak.
Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan.” Itu ujar Sri Pannavaro Mahathera.

Aku tak mengerti arti ucapan itu pada waktu pertama kali mendengarnya.
Ah, itu hanya permainan kata-kata,” demikian pikirku dalam hati.

Kini aku mulai menghargai apa yang telah disampaikannya itu. Ketulusan dalam menjalani perubahan, adalah sebuah kepastian yang paling baik. Satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian. Fisika modern mengekplorasi gagasan ini dalam teori Chaos, tapi itu tidak cukup berandai-andai tentang ketidakpastian. Karena kebahagiaan bukanlah bermain dengan konsep. Berbahagia adalah tahu bahwa kepastian itu hanya ilusi. Bukan sekedar tahu, tapi merasakannya secara langsung. Bahagia adalah penerimaan terhadap segala bentuk ketidakpastian.

Hal ini bukanlah kemurungan atau malapetaka. Tidak ada kesusahan dalam ketulusan akan perubahan. Jangan takut penerimaan ini sebagai menyebabkan kegilaan!
Nietzsche menjadi gila, justru karena kurangnya ketulusan. Seandainya dia tidak sibuk dalam konsep ketidakpastian, dia akan lebih waras dan bisa menikmati ketidakpastian ini.
Tidak ada cara lain.

Tanpa kejernihan wawasan (insight), bagaimana mungkin kita menuntaskannya? Tak ada akhir dari itu. Kita takkan pernah menyelesaikan pembelajaran kita,” ujar Ajahn Chah, Sang Guru Tradisi Hutan.
Jangan takut!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sungguh nyaman rasanya bila kita mempunyai ide-ide yang bisa dijadikan pegangan hidup. Kita merasa ada dalam sebuah perlindungan. Ada sebuah tentram bahwa kita sudah ada di jalur yang benar.

Tapi tidak akan selalu demikian.

Dengan berpegangan pada ide-ide, pada konsep tentang kehidupan, akhirnya kita terjebak dalam berantara buah pikir. Berbagai bentuk konsep, ada yang sejalan, ada yang bertentangan. Menimbulkan kebisingan konsep.

Akhirnya kita harus kembali pada ketulusan. Masuk dalam keheningan. Tanpa konsep, tanpa asumsi.

Tapi sanggupkah kita berada dalam kesendirian? Tanpa konsep, tanpa asumsi.