Selasa, 23 Desember 2008

ASUMSI, USAHA, KEBAHAGIAAN

"Setiap bentuk penderitaan muncul dari usaha."
(Sang Buddha)


Sering saya sendiri ketika membaca sesuatu lalu sejenak mengguman sambil meninjau ulang apa yang barusan saya pelajari, saya menjadi merasa mengerti. Tanpa saya sadari hal itu selalu melibatkan sebuah asumsi. Jika dirangkai dalam sebuah kalimat, asumsi itu kurang lebih seperti ini: "Aku lebih tahu dibanding yang lain."

Ketika mendengar pendapat orang lain yang masih satu atribut dengan saya, entah atribut agama, kelompok, atau bentuk persamaan lain, saya selalu berkata dalam hati.
"Ah, kamu hanya tahu sedikit, sementara aku tahu hingga logika yang paling dalam."
Lalu, saya menceritakan hal-hal baru yang kupelajari itu.

Orang itu terkagum-kagum, dan membenarkan apa yang saya ungkapkan.

Namun ketika saya mengungkapkan hal itu pada orang yang beda atribut. Yang terjadi hanya perbedaan, dan saya terancam oleh cara berpikirnya itu.
Padahal saya tidak mungkin berkuasa untuk mengatur jalan pikiran orang lain.

Dengan sekedar mengurangi penderitaan dalam pikiran, saya mencoba merelakan. Biarkan setiap orang menganut jalan pikirannya sendiri.
Bukan hanya itu, saya mencoba menyelami apa yang dipahaminya.
Ternyata setiap pandangan muncul dari pengalaman-pengalaman pribadi yang begitu unik. Ibarat yang diungkapkan Heraklitos: "orang [yang sama] tidak akan menginjak air sungai yang sama untuk kedua kalinya." Apalagi orang yang berbeda? Mengapa setiap orang harus dipaksakan dalam sebuah ide?

Semakin kita tidak sibuk dengan asumsi, kita bisa melihat di depan kaca lebih jeli.

Mengapa kita terobsesi oleh persamaan? Apa yang sama? Sebuah bentuk yang disebut "sama" selalu terdiri oleh kombinasi titik-titik yang berbeda. Sama itu tidak ada!

Jika memang ada persamaan, itu hanya asumsi.
Sungguh aneh. Kita suka berasumsi tentang persamaan, tapi kita juga berasumsi tentang perbedaan.

Persamaan menjadi tujuan yang menggerakkan nafsu.
Namun ketika "persamaan" itu mendekat, kitapun terancam dengan "persamaan" itu. Jika semua orang sama pintarnya dengan diriku, lalu bagaimana dengan aku?


Kita selalu repot dengan usaha mengatur dunia, yang tidak terjangkau dengan kekuasaan kita.

Kapan kita akan berhenti?

Tidak ada komentar: