Minggu, 06 Desember 2009

Ayo Latihan Meditasi Yuk!



Andaikata Anda diajak seseorang. “Ayo, latihan meditasi Yuk!” Atau ajakan bernada lainnya. Kali ini memperomosikan pengalaman mistis. “Ayo merasa ‘Tuhan’ dalam diri Yuk!” Atau yang sedikit berupaya menyadarkan. “Jangan cuma beragama, tapi berspiritual.”

Mungkin kita akan bertanya, apa itu spiritualitas?
Yang jelas, spiritualitas bukanlah hal baru.
Jika kita runtut kebelakang sedikit, pada abad ke-20, muncul gerakan New Age yang berkembang besar dengan kombinasi dari perbedaan spiritual, sosial, politik dalam bentuk harapan baru untuk mentransformasikan individu dan sosial dalam kesadaran spiritual. Tujuan dari gerakan ini adalah menciptakan harmoni dan kemajuan dalam kehidupan manusia yang terasa terlalu materialistik, dan meniadakan ruang bagi ketenangan jiwa.

Spiritualitas juga lebih dikaitkan dengan mistisisme, yang sering disebut sebagai harta karun yang mulai terungkap pada abad ke-21. Pemahaman mistis ini bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat gaib. Pemahaman mistis, dalam hal ini, adalah pengetahuan intuitif, pengetahuan langsung, pengetahuan akan Tuhan, ataupun istilah lainnya yang tergantung dari setiap tradisi. Kehidupan mistis dicirikan dengan vitalitas, produktivitas, ketentraman dari dalam, yang dapat keluar dalam bentuk harmoni dengan alam dan Tuhan.



Di Indonesia, saya perhatikan meditasi masih dikemas dalam bingkai spiritualitas “murni” yang belum bisa mengakomodir kebutuhan orang modern beserta hiruk pikuknya sebagai pekerja profesional. Semua ini hanya masalah “kemasan”. Meditasi secara ilmiah telah membuktikan beberapa pengaruh positif bagi kehidupan sehari-hari, selain tentu saja membuat kesehatan lebih baik. Kebahagiaan dan kedamaian yang tumbuh dari dalam adalah faktor efektivitas dalam bekerja termasuk mendukung tujuan profesional. Pikiran yang tenang dan damai juga mampu memberikan “cetusan” kreativitas yang menjadi hal penting pada era konseptual ini.

Belum lama ini saya membaca buku berjudul “Misteri Otak Kanan” karya Daniel H. Pink. Disebutkan bahwa kita ini hidup pada era transisi, yaitu antara era informasi dan era konseptual. Pada era konseptual, akan banyak pekerja kreativitas, yang mengandalkan kemampuan otak kanan. Selain itu pada era ini, makna mulai dicari. Demam spiritualitas tidak terhindarkan lagi. Hal ini adalah konsekuensi ketika materi berlimpahan, orang mulai tidak menemukan kebahagiaan melalui kemajuan materi. Seorang teman pernah berujar, bahwa pencarian makna itu sudah ada sejak dahulu. Sungguh tepat pendapat ini. Yang berbeda dari orang modern akan upaya mencari makna ketika kemajuan materi tidak mampu memberikannya. Spiritualitas yang hanya berfilsafat tidak akan banyak membantu walaupun hal itu perlu sebagai tahap dasar. Kearifan kuno melalui praktik yoga dan meditasi akan menjadi trend “baru”.

Kini meditasi sudah dikenal sebagai terapi psikologi terbaik, yang bukan milik agama tertentu. Sebuah kearifan telah melampaui zaman termasuk melampaui tradisi agama dan budaya. Beberapa hal telah menandaskan kenyataan ini. Majalah Times dari Amerika pada Agustus 2003 dalam edisi khususnya mengulas meditasi yang diminati kaum profesional. Perkembangan yang lain, di Amerika Serikat meditasi ditawarkan di sekolah-sekolah, rumah sakit, biro-biro hukum, gedung pemerintahan, kantor perusahaan-perusahaan dan penjara. Di airport, ruang meditasi dapat ditemui selain kapel sembahyang dan kios internet, bahkan menurut Harvard Law Review edisi musim semi 2002, meditasi menjadi salah satu subjek pelajaran di akademi militer West Point.

Kemasan meditasi di luar negeri begitu berbeda di Indonesia yang masih saja sebagian orang berpikir sempit dan penuh curiga dengan menganggap meditasi sebagai praktik agama. Tony Buzan, seorang pakar kreativitas, pernah menandaskan bahwa meditasi itu tidak perlu dipahami seperti itu, walaupun sebagian tradisi spiritual agama mempraktikkan hal itu. Itulah mengapa ketika kita membaca buku-buku SQ di Indonesia, bagian terpenting tentang terapi meditasi tidak dibahas. Cukup banyak buku-buku manajemen dan perkembangan kepribadian yang menyinggung tentang empathy dan awareness. Namun sesungguhnya mustahil menumbuhkan dua hal itu tanpa meditasi. Penyakit psikologis harus diatasi dengan terapi, bukan hanya dengan rasio. Itu seperti mencoba mengembangkan SQ dan EQ hanya berhenti pada IQ.

Jika informasi meditasi telah banyak beredar dengan kemasan yang menjawab kebutuhan orang modern, maka akan lebih mudah mengajak orang belajar meditasi. Bayangkan jika suatu saat kita diajak seseorang. “Ayo latihan meditasi Yuk!” Dengan mudahnya kita bisa bergabung dengan studio meditasi terdekat di kota kita.

Senin, 30 November 2009

Melampaui Simbol Agama




Mengapa Tuhan tertawa di saat manusia berpikir?
Sebab ketika manusia berpikir, kebenaran menghapus dirinya.

(Milan Kundera)


Sekitar tahun 2001, saya baru mengetahui bahwa beberapa pemuka agama memperkaya pengalaman rohaninya dengan wawasan yang lebih luas. Mereka mempelajari sesuatu yang disebut hermeneutik, yaitu sebuah metode tertentu untuk menafsirkan sesuatu.
Jika metode tersebut diterapkan pada rasionalisasi agama, maka dapat dipahami bahwa penafsiran terhadap agama diperoleh dengan mencari dan menganalisa makna di balik teks kitab suci. Keyakinan agama menjadi tidak harus mengikuti teks secara harafiah, karena disadari bahwa beragama menjadi berbahaya ketika terjadi salah tafsir.

Tanpa bermaksud mengutak-atik teori filsafat yang rumit, mari kita bicara sedikit tentang hermeneutik. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis Hermes. Hermeneutik sering diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

Dalam hermeneutik dikenal adanya keyakinan akan makna transendental. Transendental adalah makna yang tidak tampak dalam teks. Menurut Jacques Derrida, seorang Filsuf Perancis yang paling banyak memengaruhi tradisi hermeneutik saat ini, bahwa makna itu adalah hasil ciptaan atau permainan dari teks itu sendiri. Artinya, antara teks dan makna sebetulnya tidak ada hubungan langsung. Misalnya, kata “kursi” digunakan untuk mewakili tempat duduk. Kata bahasa Inggris “chair” digunakan untuk maksud yang sama. Namun, apa hubungannya “kursi” dengan realitas di luar sana yang mengacu pada suatu benda yang berfungsi sebagai tempat duduk? Mengapa harus “kursi”? Mengapa harus “chair”? Mengapa tidak “meja”? Mengapa tidak menggunakan “table”? Mengapa tidak dibalik? Kata “table” untuk menunjuk realitas tempat duduk, dan sebaliknya. Pada dasarnya, tidak ada relasi yang kuat antara teks dan realitas yang ingin diwakilinya. Pikirkan sejenak! Tidak ada hubungan antara sebuah kata dan sesuatu yang dimaksud, bukan?

Makna transendental juga menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada makna dalam teks itu, kitalah yang kreatif membuat maknanya. Ketika sebuah pemahaman dibahasakan, maka pada saat itu “pemahaman” telah mati, hanya menjadi simbol.

Vincent Crapanzano pernah menjelaskan hal ini dalam analogi yang lebih sederhana. Vincent mengingatkan kembali pada tokoh Hermes dalam legenda Yunani Kuno. Hermes adalah seorang tokoh mitologi yang bertugas menerjemahkan pesan-pesan Dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang bisa dimengerti umat manusia. Hermes berjanji kepada Dewa Zeus untuk tidak berbohong, tetapi ia tidak berjanji untuk mengatakan seluruhnya dari kebenaran yang diterimanya. Namun, walaupun Hermes tidak bermaksud untuk berbohong pada siapa pun, akan selalu ada sesuatu yang tidak tersampaikan olehnya. Jika kita kembali pada masalah penafsiran agama, terutama penafsiran kitab suci, maka agama tidak akan pernah lepas dari kekurangan dalam menjelaskan kebenaran karena keterbatasan dari tulisan itu sendiri.
...

Kita telah mengetahui bahwa Agama terbagi menjadi dua bagian, yaitu Agama Tuhan (Samawi)—yang dipercaya berasal dari Wahyu Tuhan, dan Agama Manusia—sebuah pandangan hidup yang bersumber pada ajaran manusia sendiri. Baik Agama Tuhan maupun Agama Manusia bernasib sama. Semua pesan spiritual membutuhkan pemahaman dan interpretasi. Wahyu tidak hanya dimengerti sebatas kitab suci yang harus diyakini, tetapi juga dipahami. Karena adanya proses pemahaman itu, Agama Tuhan pun menjadi Agama Manusia. Kebijaksanaan Intuitif adalah tentang pemahaman ini. Jika memang dibutuhkan keyakinan, maka keyakinan itu harus dibangun atas dasar pemahaman. Pada tahap awal kita butuh keyakinan akan sesuatu yang belum kita mengerti sebelumnya. Namun, pada tahap selanjutnya dan tahap akhir kita butuh pemahaman yang lebih mendalam. Jika tidak, maka selamanya kita tidak akan pernah mengerti.


Dikutip dari buku USING NO WAY AS WAY!

Minggu, 22 November 2009

Confucius & Yan Hui



Barusan dapat email yang begitu menginspirasi. Coba simak!


Yan Hui adalah murid
kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya
baik. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu
toko kain sedang dikerumunin banyak orang. Dia mendekat dan mendapati
pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli
berteriak: "3x8 = 23, kenapa kamu bilang 24?"
Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3x8 = 24, tidak usah
diperdebatkan lagi"

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa
minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius.
Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan."

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"

Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong
untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"

Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu."

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius. Setelah
Confusius tau duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil
tertawa: "3x8 = 23.
Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia."

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar
Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada
pembeli kain. Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.
Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak
sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak
mau lagi belajar darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan
keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya.
Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali
setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasehat : "Bila hujan
lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh." Yan Hui
bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin
kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui
ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan
dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia
meninggalkan pohon itu. Belum lama dia pergi,
petir menyambar dan pohon itu hancur.

Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.
Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam
dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Dia menggunakan pedangnya untuk
membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada
seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat
marah, dan mau menghunus pedangnya. Pada saat mau menghujamkan pedangnya,
dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh. Dia lalu menyalakan
lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata:
"Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?" Confusius berkata:
"Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir,
makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon. Kamu
kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu
agar jangan membunuh". Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali,
murid sangatlah kagum."

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga..
Kamu tidak ingin belajar lagi dariku. Cobalah kamu pikir. Kemarin guru
bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi
jikalau guru bilang 3x8=24 adalah benar,
si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.
Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting?"

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata :
"Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu." Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.

Cerita ini mengingatkan kita: Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh
dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya. Dengan kata lain, kamu
bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah
kehilangan sesuatu yang lebih penting. Banyak hal ada kadar
kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran
itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan.
Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
(Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti)

Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat
penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti)
Bersikeras melawan istri. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Istri
tidak mau menghirau kamu, semua harus "do it yourself")
Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga.
(Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman)

Rabu, 11 November 2009

MENCINTAI ORANG LAIN




“Jika Anda menilai orang, Anda tak punya waktu untuk mengasihinya.
(Bunda Teresa)

Suatu waktu Aku melihat sebuah pengemis yang bertubuh cacat. Tubuhnya nampak tidak lazim, melengkung ke kanan, sehingga jika berjalan bagian atas tubuhnya miring. Seakan-akan kepala sejajar dengan tinggi pinggangnya. Belum pernah Aku melihat pengemis seperti itu, terlebih ketika berhenti di perempatan jalan raya.
Seorang pengemudi yang lain memberi sedekah yang tidak seberapa. Pengemis itu mendekat dan mengambilnya walaupun terlihat berjalan agak sempoyongan karena berat tubuh yang tidak seimbang.

Pada saat ada pengemudi lain, yang agak jauh dari pengemudi yang pertama itu memberi sedekah, seorang penjaja koran membantu dengan mengambilkan uang sedekah itu pada Sang Pengemis.

Akupun merasa iba dan ikut memberi sedekah. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Kita ini mudah sekali kasihan pada orang yang nasibnya jauh dibawah kita. Obyek kasihan yang teramat sulit adalah terhadap orang yang sombong, yang merasa memiliki keadaan yang lebih baik dari kita. Mungkin hal itulah yang membuat Bunda Teresa pernah berkata, “Jika Anda menilai orang, Anda tak punya waktu untuk mengasihinya.”

Sabtu, 03 Oktober 2009

PEMBUKTIAN ILMIAH MANFAAT MEDITASI





Tiga puluh tahun yang lalu, setelah gelombang hippy yang melanda dunia selama satu dekade mereda, dunia barat menemukan satu ilmu baru yang dapat mereka jadikan sebagai pegangan hidup yaitu meditasi. Ilmu ini sebelumnya tidak mereka tanggapi secara serius, karena praduga mereka yang mengaitkan meditasi dengan ilmu setan, ilmu tukang sihir dan sebagainya. Mereka takut bila belajar meditasi, jiwanya tidak dapat diselamatkan dan pintu sorga tertutup untuk selama-lamanya.

Pemikiran kaum tradisional konservatif ini tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh kaum hippy yang menganggap bahwa mereka menjadi budak dogma selama berabad-abad dan dikungkung dalam lingkup pandangan penuh curiga terhadap pandangan-pandangan maupun cara hidup yang lain. Oleh karena itu, mereka berusaha lebih bersahabat dengan alam, mereka umumnya memiliki pandangan yang jauh lebih terbuka, tak terikat pada dogma, sehingga siap menerima sesuatu yang baru dan sangat "exciting" yaitu meditasi

Sekarang perkembangan meditasi barat meningkat pesat secara eksponensial, sedemikian pesat perkembangannya sehingga meditasi dilatih dimana-mana, oleh semua golongan. Perkembangan meditasi ini sangat fenomenal, sehingga majalah times pada edisi 4 Agustus 2003 menurunkan meditasi sebagai artikel utamanya.

Dunia barat sekarang menyambut meditasi dengan lebih antusias karena setelah mereka adakan riset dan percobaan terbukti ada manfaat besar yang bisa didapat oleh mereka yang melatih mediasi, yaitu selain untuk kesehatan batin juga untuk kesehatan jasmani (di dunia serba materialisme sekarang ini manfaat jasmani dianggap lebih menguntungkan daripada manfaat rohani).


Di awal buku tuntunan meditasi Visuddhi Magga disebutkan bahwa hidup ini penuh kekusutan, dan isi Visuddhi adalah cara untuk menguraikan kekusutan tersebut. Salah satu cara meditasi dengan memusatkan perhatian pada empat landasan perhatian (satipatthana). Kurangnya perhatian pada manusia jaman sekarang sudah sangat parah, karena memang sesuai kamannya sangat banyak benda-benda yang membuat kita menjadi kurang perhatian terhadap diri kita sendiri.

Dalam beberapa tahun belakangan ini para ahli psikiater barat mulai mengenali kelainan manusia jaman sekarang ini, dan mereka menyebut kelainan ini dengan istilah "attention deficit disorder (ADD) atau kelainan kurang perhatian (KKP)." Perhatian yang dimaksud di sini adalah perhatian terhadap semua aktivitas kita yang disertai kewaspadaan, bukan perhatian dari orangtua, teman dan sebagainya. Semua manusia awam memiliki kelainan ini dalam berbagai intensitas, kelihatannya sejalan dengan Visuddhi Magga yang menyebutkan bahwa KKP inilah yang menyebabkan dunia ini kusut.


Mengapa mereka yang berlatih meditasi lebih berkurang stressnya dan lebih bisa menguasai diri dibandingkan dengan mereka yang tidak berlatih meditasi? Pada riset yang dilakukan oleh Richard Davidson dari universitas Wisconsin dengan menggunakan mesin citra otak (brain imaging) ternyata meditasi membuat aktivitas pada prefrontal cortex dari bagian kiri ke bagian kanan,dari sebelah kiri bergeser ke sebelah kanan. Menurut riset Davidson dengan bermeditasi secara teratur, otak berubah dari penentangan yang menimbulkan stres menjadi penerimaan yang menimbulkan sifat merasa puas dan menerima. Sebab pada orang yang memiliki sifat-sifat negatif lebih cenderung menggunakan bagian prefrontal kanan; sedangkan prefrontal kiri lebih berhubungan dengan antusiasme, lebih pada rasa ketertarikan, lebih relaks dan cenderung lebih berbahagia walaupun agak kurang materialistik.

Ada juga eksperimen yang dilakukan berkenaan dengan masalah kejiwaan, di pusat rehabilitasi Kings county utara dekat Seattle sekelompok residivis yang dikenakan hukuman penjara yang berhubungan dengan obat bius atau berhubungan dengan kejahatan karena alkohol tetapi tanpa kekerasan. Diajarkan berlatih meditasi Vipassana selama sepuluh hari, 11 jam sehari, secara bergantian meditasi duduk dan berjalan. Mereka yang dipilih adalah mereka yang sangat memerlukan rehabilitasi, karena memerlukan tekad yang kuat dari peserta meditasi untuk dapat menahan sesi meditasi selama 11 jam sehari. Sebagian dari mereka sebanyak 56% dari yang berlatih Vipassana kembali ke penjara dibandingkan dengan 75% residivis yang tidak berlatih Vipassana. Selain itu residivis yang berlatih Vipassana menggunakan lebih sedikit obat bius maupun alkohol, dan lebih sedikit mengalami depresi. Wendy Weisel pengarang "Daughters of Absence" hampir sepanjang hidupnya dilewatkan dengan meminum obat anti anksietas (kecemasan) sebelum berlatih Vipassana tiga tahun yang lalu, setelah berlatih vipassana ia sama-sekali terlepas dari obat-obatan.


Pada test lain yang dilakukan terhadap meditator tingkat lanjutan ternyata memiliki kemampuan mengenali objek dengan cepat , meditator ini mengenali mood pada serentetan ekspresi wajah, yang bertukar dengan kecepatan tiga puluh ekspresi perdetik! Kemampuan para meditator ini melebihi kemampuan kelompok yang dianggap memang ahli dalam bidang ini seperti psikiater, petugas pabean, dan agen intelijen rahasia. Mungkinkah suatu ketika mereka ini juga harus mempelajari meditasi karena dimasukkan dalam kurikulum?

Eric Lander yang merupakan salah seorang pemimpin Human Genome Project secara lantang meramalkan pada konferensi para ilmuwan dan cendekiawan Buddhis di Massachusets Institute of Technology (MIT), bahwa bukan mustahil di masa yang akan datang Departemen Kesehatan Amerika Serikat akan menganjurkan untuk berlatih meditasi enam puluh menit sehari, lima kali seminggu.

Jon Kabatt-Zinn yang belajar Buddha Dhamma pada tahun 60-an dan mendirikan klinik pengurangan stres (stress reduction clinic) di U Mass medical centre pada tahun 1979, telah menolong 14.000 orang merawat rasa sakit mereka tanpa obat, di antara pasiennya ada yang menderita kanker, AIDS, rasa sakit akut. Caranya sama yaitu dengan Vipassana, yang mengajarkan mereka untuk fokus dan melihat bentuk rasa sakit mereka, dan berusaha menerima rasa sakit tersebut daripada melawannya. Belakangan ini, ia sedang mempelajari sekelompok pasien yang menderita psoriasis, yaitu penyakit yang tak dapat disembuhkan dan umumnya sering diobati dengan meminta pasien untuk datang ke rumah sakit, memasang kacamata anti UV serta berdiri telanjang di kotak sinar ultra violet yang kuat dan panas. Perawatan ini menimbulkan stres pada kebanyakan pasien. Kabat-Zinn memberikan terapi meditasi untuk mengurangi stres pada pasien yang disinari, pada dua eksperimen, kulit mereka yang ikut meditasi menjadi bersih empat kali lebih cepat daripada kulit mereka yang tidak ikut meditasi. Pada studi yang lain, ia bersama dengan Richard Davidson dari University of Wisconsin di Madison memberikan suntikan influenza pada sekelompok meditator yang baru belajar dan non meditator, untuk mengukur kadar antibodi dalam darah mereka. Para ahli riset juga mengukur aktivitas otak mereka untuk melihat kegiatan mental yang bergeser dari otak kanan ke otak kiri. Hasilnya, mereka yang berlatih meditasi bukan hanya memiliki antibodi lebih banyak pada minggu keempat dan minggu kedelapan sesudah suntikan, tetapi mereka yang aktivitas mentalnya bergeser lebih banyak memiliki antibodi yang lebih banyak pula. Dengan kata lain, lebih baik tehnik meditasinya maka sistem kekebalan tubuh lebih sehat.

Riset serius terhadap meditasi tercatat paling awal dimulai pada tahun 1967 oleh Dr. Herbert Benson, seorang profesor medik di Harvard Medical School. Secara sembunyi-sembunyi, setiap malam, memasukkan 36 orang meditator samatha bhavana (transcendental) ke laboratoriumnya, untuk mengukur kecepatan denyut jantung, tekanan darah, suhu kulit, dan suhu rectumnya. Setelah diperiksa, ternyata mereka rata-rata menggunakan oksigen 17% lebih sedikit, denyut jantung lebih rendah 3 denyut per menit, Gelombang theta yang dipancarkan (yang biasanya muncul sebelum tidur) meningkat, tetapi corak pancaran gelombangnya tidak sama dengan orang yang tertidur. Beberapa tahun kemudian, Dr. Gregg Jacobs, professor psikiatri pada universitas yang sama, yang bekerja bersama professor Benson, merekam EEG (electro encephalograph) gelombang elektrografi otak pada dua grup, yang satu diajarkan meditasi, sedangkan yang lain dibiarkan mendengarkan kaset yang menenangkan batin. Selang beberapa bulan, mereka yang berlatih meditasi menghasilkan gelombang theta yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mendengarkan kaset, sedangkan gelombang Beta mereka menjadi turun.


Dengan ditemukannya brain imaging maka penelitian terhadap meditasi menjadi lebih maju lagi. Pada tahun 1997, Andrew Neuberg ahli syaraf di Universitas Pensylvania meneliti sekelompok meditator Buddhis dengan memasukkan cairan pewarna di darah. Neuberg menunggu di ruangan sebelah, dihubungkan dengan tali pada meditator di ruangan sebelahnya, lalu menarik tali untuk menyuntikkan cairan pewarna ke dalam darah mereka, setelah meditator masuk pada keadaan meditasi yang mendalam. Dari percobaan itu terlihat bahwa aktivitas otak tidak berhenti ketika subjek sedang berlatih meditasi, tetapi hanya memblokir informasi yang masuk dari lobus parietal sehingga kehilangan sensasi ruang waktu, kemudian ia merasa bersatu dengan alam semesta.


Bagaimanakah keadaan yang sesungguhnya terjadi pada proses meditasi? Sebenarnya keadaan yang dialami oleh mereka yang bermeditasi, setelah masuk pada keadaan "anuloma" maka informasi yang masuk pada indera tidak mendapat perhatian karena konsentrasi menyatu pada objek gambaran batin atau nimitta (pada samatha bhavana), sedangkan pada Vipassana hanya memperhatikan objek nama-rupa. Sehingga tampak pada brain scanner saat itu seolah-olah meditator mirip dengan orang yang tidur tetapi tidak sama. Tampak pada brain scanner, informasi yang akan masuk ke lobus parietal terblokir. Sebenarnya, ini adalah kerja thalamus yang merupakan gerbang masuk informasi yang berasal dari syaraf di indera-indera kita dan menyalurkan data ke otak serta memblokir sinyal-sinyal lain tetap berada pada jalurnya.


Bagaimanakah proses yang sebenarnya terjadi di otak pada waktu bermeditasi? Ada beberapa bagian otak yang terlibat secara langsung pada proses meditasi, di antaranya yaitu:

1. Lobus frontal, berguna sebagai analisa, perencanaan, emosi, dan kesadaran terhadap diri sendiri. Selama meditasi, korteks frontal cenderung tidak aktif (offline).*

2. Lobus parietal, berguna untuk memproses informasi dari in*dera mengenai dunia sekitar kita, memberi kesan orientasi terhadap ruang dan waktu. Selama meditasi aktivitas di lobus parietal melambat.

3. Thalamus, adalah gerbang terhadap pintu indera, yang memusatkan perhatian dengan menyalurkan data sensor lebih dalam ke otak dan menghentikan sinyal lain pada jalurnya. Meditasi mengurangi aliran informasi yang datang menjadi bagai tetesan-tetesan saja.

Perkembangan terakhir dari meditasi yang mewabah di dunia, sekarang di Amerika Serikat meditasi ditawarkan di sekolah-sekolah, rumah sakit, biro-biro hukum, gedung pemerintahan, kantor perusahaan-perusahaan dan penjara. Di airport, ruang meditasi dapat ditemui selain kapel sembahyang dan kios internet, bahkan menurut Harvard Law Review edisi musim semi 2002, meditasi menjadi salah satu subjek pelajaran di akademi militer West Point.

Artikel majalah TIME tersebut selain menyinggung mengenai meditasi Vipassana, juga menyebut mengenai meditasi transendental dari Maharishi Mahesh Yogi, Samatha bhavana (pernafasan, cinta kasih), meditasi Tantra yaitu visualisasi (membayangkan atau memunculkan gambaran) dan juga meditasi seks dari tantra.


Sebagian daftar orang-orang terkenal yang merasakan manfaat besar dalam hidupnya setelah berlatih meditasi di antaranya, yaitu:

Sutradara David Lynch, Aktris Heather Graham (gbr cover TIME)
Aktris Goldie Hawn, Bill Ford pemimpin Ford motor Company
Eks US first lady Hillary Clinton, Eks US vice president Al Gore
Penyanyi Shania Twain, Aktor Richard Gere

Daftar ini hanya beberapa dari jumlah orang terkenal yang menjadi penggemar meditasi di dunia. Daftar ini terus bertambah, mungkin suatu ketika di antaranya adalah anda, siapa tahu?


Anuloma:
1. Tingkat pencapaian batin yang hampir memasuki jhana (yaitu tingkat konsentrasi yang pertama pada samatha bhavana/meditasi ketenangan).
2. Tingkat pencapaian batin yang hampir memasuki sotapatti magga (tingkat kesucian pertama pada vipassana bhavana/meditasi pandangan terang).

Kamis, 10 September 2009

DIALOG LINTAS AGAMA: POLA PEMBELAJARAN 'BARU'





Saya pernah mengikuti sebuah dialog antar beragama pada tahun 1998 di sebuah gedung yang dikelola oleh Muhamadiyah Yogya, tidak lama setelah rezim Soeharto jatuh.

Acara itu diadakan oleh Dianinterfidei, salah satu organisasi yang mengenalkan lintas agama di Yogya.

TH. Sumartana mempertanyakan, "mengapa bisa terjadi konflik antar agama?"

Ada banyak diskusi dan sudut pandang pada waktu itu. TH Sumartana sendiri, sebagai pemimpin Dian interfidei, merasa bahwa konflik beragama terjadi karena adanya pembunuhan theologis, dimana menilai orang yang berbeda teologi dianggap bidah dan harus diperangi.

Tapi ada satu pendapat lain, yang mengatakan bahwa kita terlanjur banyak dididik secara agama dgn menyembungikan realitas pluralistik. Kesalahan ini menurutnya berpangkal pada pengkondisian orde baru, yang turut membungkam oposisi. Karena itu elit agama juga suka ikut-ikutan & berespon sama terhadap "oposisi". Sehingga bukan love atau praktik universal yang ditampilkan, tapi egoisme identitas.

Tahun 1998 adalah 11 thn yg lalu. Sayang hingga sekarang pendidikan agama yg mengedepankan wawasan pluralistik masih saja langka.

Sejak acara itu saya tertarik untuk memahami cara pandang orang lain terlebih agama lain. Hingga sekarang jika saya diminta menulis di Majalah Buddhis saya selalu mengedepankan wawasan yang inklusif, bukan eksklusif. Pernah sebuah majalah Buddhis menggusung sebuah topik "Mengapa beragama Buddha?". Karena nuansanya ekslusif dan memahami agama secara "kaku", pada waktu itu saya tidak berminat mengirim tulisan di sana, walaupun jauh-jauh hari saya telah ditawari.

Saya tidak malu dan merasa rugi dalam mengutip Mahatma Gandhi, Mother Theresa, [Alm] Romo Mangun Wijaya, Kabir, Rumi, dll.

Mereka yang berbeda bukanlah ancaman, tapi justru suatu bentuk pembelajaran yang baru.

Saya heran mengapa masih saja orang membatasi diri untuk masuk pada samudera spiritual yang begitu luas ini.

Selasa, 01 September 2009

TREND SPIRITUALITAS UNIVERSAL




Satu kebenaran ilmiah baru tidak menang dengan
cara menyakinkan lawannya dan membuat mereka
menyadari kebenaran, tapi sebaliknya karena lawannya
akhirnya mati dan satu generasi baru akrab dengan
kebenaran ilmiah itu bertambah besar.

(Max Planck, Fisikawan Jerman)


Ada sebuah buku berjudul “The Good Heart”, berisi transkrip dialog His Holiness The Dalai Lama XIV dengan komunitas John Main yang pimpin oleh seorang pastur bernama Laurence Freeman. John Main sendiri adalah seorang biarawan Benedictine yang menemukan kembali tradisi meditasi Kristen yang telah lama hilang. Pada tahun 1975, John Main mendirikan Christian Meditation Center.

Buku ini mencatat dialog penuh penghargaan antara dua tradisi yang berbeda, dari sudut pandang praktisi, bukan sekedar dogma kaku yang buntu.
Sangat disayangkan spirit lintas agama seperti ini masih jarang di Indonesia, walaupun sewaktu di Yogya dulu saya sering mengikuti seminar-seminar semacam ini.

Saya tulis ulang beberapa kutipan dari buku itu sekaligus komentar.

Saint Agustine doubtlessly believed in God, but he was also sure that God is unknowable to the thinking mind alone. ‘If you can understand it,’ he said, ‘then it is not God.’ His contemporary Saint Gregory of Nyssa, a great mystical teacher of the Eastern Church, said that all ideas about God run the risk becoming idols.

Jika seseorang secara tulus menerima rahmat Tuhan dalam keadaan apapun baik atau buruk. Kata TUHAN yang diucapkan dalam hati terasa begitu indah dan membebaskan.
Tapi jika penyebutan TUHAN itu sudah sepihak. Dalam arti, hal-hal enak aja yang diaminin, hal-hal buruk tidak diaminin, bahkan dihindari. Itu sudah ada self-ego yang berperan. Itu yang saya kritik sebagai penyebutan TUHANTUHANTUHANTUHAN.....
Selfish reason menjadi dasar utama, maka ketika itu tanpa disadari yang disebut adalah HANTU. Itu adalah yang dimaksud GOD RUN THE RISK BECOMING IDOLS.

Yang menarik dari statement Dalai Lama tentang pribadi Yesus.
For me, as a Buddhist, my attitude toward Jesus Christ is that he was either a fully enlightened being or a bodhisattva of a very high spiritual realization”.

Jika dogma-dogma dibuang, yang ada adalah Yesus sebagai praktisi yang memiliki tingkat realisasi yang tinggi. Realisasi yang tinggi itu adalah hadirnya Tuhan dalam diri, yang menjadi fondasi penting dalam trinitas Gereja. Ada beberapa bagian dari buku itu yang menjelaskan ajaran trinitas gereja dengan tiga perwujudan (trikaya) dalam tradisi mahayana. Akan terlalu panjang untuk menunjukkan adanya pararelisme jika saya jelaskan disini.

Bagian pengantar buku, Pastor Laurence Freeman juga memberikan kalimat kebersamaan yang indah. “The different paths human beings will always follow express, in their diversity, the unity of Truth. There is one Truth, one God. One Word, but many dialects.

Sebuah sumber lain, dalam “Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik”, yang diterbitkan oleh Kanisius, F.X.E.Armada Riyanto, CM., menyebutkan,
Sebuah wajah gereja yang inklusif tercantum dalam Gaudium Et Spes 22 dikatakan bahwa upaya keselamatan diluar intansi gereja adalah mungkin, karena pekerjaan Roh Kudus tidak dibatasi oleh Gereja.

Hanya tinggal waktu, dan akan berjalan secara alami.
Interpretasi ajaran agama akan lebih mengutamakan ezensi dari pada dogma.
Ada sebuah trend spiritualitas universal.


Saya teringat dengan Jostein Gaardner, penulis novel laris “Dunia Sophie”, ketika ditanya oleh redaksi TEMPO.
Jika dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh besar di dunia, dia ingin bertemu dengan siapa?
Gaardner menjawab, “Sokrates, Yesus, dan Buddha.
Alasannya sederhana. Ketiganya tidak pernah menulis kitab suci. Jadi Gaardner rupanya ingin berdiskusi dengan tuntas dan jelas dengan tiga tokoh legenda tersebut.

Harus diakui memang perkembang filsafat, theology, pendekatan baru tentang apapun termasuk spiritualitas dan agama, tidak serta merta bisa diterima oleh banyak pihak. Tapi berangsur-angsur spiritualitas menemukan konteks zamannya untuk memiliki wajah yang penuh cinta kasih.

Dan nampaknya, cinta kasih itu sungguh relevan.


Jika mau baca online buku The Good Heart kunjungi http://books.google.co.id/books?id=lvYPx8q4Yt4C&printsec=frontcover#v=onepage&q=&f=false

Rabu, 26 Agustus 2009

BEHIND THE SCENE 'USING NO WAY AS WAY!'




Bukan tentang pendalaman materi dalam buku USING NO WAY AS WAY! yang ingin saya ungkapkan kembali disini, tapi hanya menunjukkan bahwa buku saya hanyalah sebab sekaligus akibat dari lingkungan dari zaman tempat saya belajar. Banyak hal yang terlibat dan saya berusaha untuk menyajikan kerangka berpikir dari apa yang pernah saya alami itu.

Ada delapan buah pokok pemikiran yang mempengaruhi USING NO WAY AS WAY!
1. ETIKA
2. AFIRMASI
3. KEBAHAGIAAN
4. PENDEKATAN MISTIK
5. PLURALISME
6. PRAKTIK MEDITASI
7. KESUKSESAN
8. WAWASAN EKOLOGIS

ETIKA
Pelajaran Etika yang tidak disuguhkan dalam bentuk perintah kitab suci saya dapatkan dari Buddhisme dan Nietzsche. Perkembangan Buddhisme banyak diwarnai bentuk formal yang terasa ekslusif –sebagaimana agama-agama lain pada umumnya, namun saya lebih suka bukan pada ritualitas yang mungkin nyaman bagi orang tertentu. Secara umum, semua agama memiliki bentuk kenyamanan sesaat (dalam bentul ritual atau keimanan yang kaku –bahkan yang terakhir ini sering menjadi sumber konflik sosial yang berkepanjangan) yang jauh dari fungsi spiritual. Freud pernah mengkritik agama sebagai bentuk kepanjangan masa kanak-kanak yang rindu dengan orang tua dan menganggap Tuhan, Dewa, atau bentuk sakral tertentu sebagai bentuk pengharapan. Etika tidak harus dimaknai sebagai keterpaksanaan, tapi pada upaya melatih kesadaran diri.

Nietzsche memperkenalkan etika majikan, sebagai pembanding etika budak. Etika budak adalah melakukan sesuatu berdasarkan ketakutan. Bagaimana mungkin orang takut akan menjadi lebih baik? Saya pernah melakukan refleksi dengan bertanya seperti itu. Untuk itu butuh etika majikan, yang bukan karena ‘desakan’, tapi karena kesadaran diri. Nietzche membahas dengan aforisma yang mungkin terlihat terlalu kritis sehingga etika Nietzsche dianggap atheisme yang tak berspiritual.

Buddha adalah sosok yang begitu manusiawi yang berusaha memecahkan permasalahan hidup manusia, yaitu penderitaan. Polemik tentang klaim kebenaran akan menjadi mandul dan tak berarti, karena kita yang merasa “benar” ternyata masih menderita dan tidak bisa menumbuhkan cinta kasih. Bukankah kebahagiaan itu adalah cinta kasih?

Pemahaman tentang etika akan semakin jelas, ketika etika bukan dimengerti sebagai perintah yang memberi pilihan ‘neraka’ atau ‘’surga’, namun dengan dilandasi kebijaksanaan, tidak lain buah pemahaman hidup.

Kebijaksanaan akan membuahkan kebahagiaan dan cinta kisah. Tidak pernah ketakutan mampu menghasilkan cinta kasih dan kebahagiaan. Dan orang yang bahagia selalu memiliki etika yang lebih baik.

AFIRMASI
Istilah “Afirmasi” saya dapatkan dari ulasan tentang pemikiran Nietzsche. Saya lanjutkan tentang pengertian kebijaksanaan yang saya singgung sebelumnya.

Kebijaksanaan adalah pemahaman intuisi yang mempersiapkan kita untuk berani menghadapi ketidakpastian dalam hidup.

Kemampuan menghadapi hidup ini adalah konsep afirmasi Nietzsche, yang sering diungkapkan dengan kalimat “berkata ‘ya’ pada kehidupan”.
Pandangan Buddha tentang kebijaksanan adalah kemampuan memahami ketidakpuasan sebagai kewajaran, pengakuan adanya perubahan yang silih berganti, dan juga kepalsuan ego yang merupakan ilusi terhebat yang pernah dimiliki manusia.

Afirmasi ini paling sering salah dipahami banyak orang sebagai bentuk materialisme yang hanya mengakui dunia fana ini saja. Secara ekstrim, dituduh sebagai anti agama yang menolak keberadaan surga maupun neraka.

Saya memahami bahwa pengakuan akan kefanaan hidup bukan untuk membuat kita melarikan diri dari kefanaan itu --dengan menggantinya dengan fantasi “kesenangan”. Jika kita terus melarikan diri dari kenyataan, maka kita selalu tidak siap menghadapi masalah. Bagaimana mungkin kebahagiaan bisa tumbuh jika kita selalu menghindari dari masalah?


KEBAHAGIAAN

Ini adalah bagian yang paling sering salah dipahami. Sering ada upaya promosi bahwa seseorang setelah mengikuti agama tertentu menjadi sukses, mendapat pahala Tuhan atau Dewa, dan hidup berkelimpahan dan bahagia.

Padahal konsep kebahagiaan yang dipromosikan itu bukanlah kebahagiaan sejati, itu hanya kesenangan yang dianggap kebahagiaan. Kadang saya pikir, agama mulai menggunakan cara-cara yang jauh dari spiritualitas yang telah disungguhkan para nabi atau pendiri agama itu sebelumnya.

Kesenangan dan kebahagiaan adalah berbeda.
Kesenangan selalu eksternal dan memiliki syarat-syarat tertentu. Kesenangan itu hanyalah sisi lain dari penderitaan. Jika kondisi atau syarat-syarat itu lenyap, maka apa yang disebut kesenangan segera menjelma menjadi penderitaan.
Kesenangan ini jika kita perhatikan lagi, selalu berada dalam konsep “hak milik”.
Jika orang cantik itu menjadi milik, maka senang. Jika gagal dimiliki, maka menderita. Jika yang cantik itu berubah menjadi buruk rupa, itu juga menderita.

Kebahagiaan adalah internal, tidak tergantung dengan syarat-syarat tertentu.
Kebahagiaan sejati itu tanpa sebab, karena itu kebahagiaan itu tanpa akhir. Sesuatu yang memiliki sebab akan berakhir. Ajahn Sumedho pernah berujar, “Jika ingin menderita, carilah sesuatu yang memiliki awal”.

Kebahagiaan sejati melampaui pahala, musibah, berkah, keberhasilan, baik, buruk, dll. Kebahagiaan ini menjadi tujuan dari semua tradisi spiritual. Yang dipahami sebagai yang tanpa sebab dan tanpa akhir --inilah yang disebut keabadian.

Penghalang ‘keabadian’ ini adalah diri sendiri, maka pemecahan masalah juga harus melalui diri sendiri. Sebab penderitaan adalah masalah universal [murni karena diri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan ras, suku maupun agama], maka solusinya tentu juga harus universal.

PENDEKATAN MISTIK
Pendekatan mistik, bukanlah hal-hal gaib, supranatural, dll. Pendekatan mistik yang saya maksud mengacu pada mistisisme, yang sering disebut sbeagai harta karun terpendam abad ke-20. Banyak buku yang menjadi rujukan saya tentang mistisisme, yang membuka perspektif spiritualitas yang sudah ada pada agama-agama yang sudah ada.

Beberapa orang menyebutkan bahwa mistisisme merupakan reaksi atas semakin menurunnya fungsi organized religion yang ada saat ini. Kegiatan beragama kadang memperkuat sumber konflik terutama jika yang dipahami hanya aspek formal dan lahiriahnya saja. Secara ezensi, saya mengacu pada pandangan William James bahwa agama mestinya menjadi rumah bagi ‘agama personal’.

Tokoh-tokoh agama yang open minded berupaya kembali pada jatidiri spiritual pada agamanya. Aktivitas religi seperti inilah yang dibutuhkan dan justru memberikan manfaat nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sufisme, Buddhisme, Christian Mistisism, Taosime, dll, membawa kesimpulan yang sama, bahwa pemahaman tertinggi haruslah dialami. Kaum Sufi sering menyebutkan bahwa upaya pencarian Tuhan adalah salah, karena itu berarti mengingkari adanya Tuhan pada saat ini. Tuhan bukan dicari, tapi disadari –karena Tuhan telah ada sekarang.

Penganut Christian Greek (Kristen Yunani) memahami iman dengan cara yang berbeda sebagaimana otoritas iman yang kita kenal pada umumnya. Iman (faith) mestinya harus dialami, menjadi pengalaman. Jika iman baru menjadi dogma, itu artinya perjalanan spiritualitas belumlah selesai, karena pengalaman akan ‘Tuhan’ mesti dialami.

Ada ungkapan-ungkapan pengalaman seperti ini.
Santo Benedict menyebutkan, “Jika Anda pikir itu Tuhan, maka itu bukan Tuhan”. Kalimat mirip dengan ungkapan Zen yang terkenal, “Jika ketemu Buddha, bunuh Buddha itu”.

Pendekatan mistik itu yang membuat saya memilih USING NO WAY AS WAY sebagai judul. Yang mengingatkan bahwa jika ingin bahagia, maka konsep tentang kebahagiaan itu juga harus di lenyapkan.

Perjalanan mistik pada akhirnya, membuat Tuhan atau realitas yang tertinggi tidak bisa dikatakan. Orang Jawa kuno menyebutkan “tan keno kinoyo ngopo” –tidak dapat di apa siapakan. Lalu, Lao Tze menggaris bawahi dalam sebuah sikap diam, “Orang yang tahu akan tidak bicara” –walaupun belum tentu orang diam adalah pertanda mengerti.

Diam adalah hening, bukan pertanda tidak tahu. Diam adalah tahu dan merasakan, mengada bersama Tuhan, larut dalam keabadian –suatu kemenjadian yang membahagiakan dan memberi kedamaian. Paulus memberikan perspektif Ketuhanan dalam praktik dalam ungkapan, “Allah itu kasih”.

Yang paling menarik, adalah ketika pendekatan mistik ini dipelajari, dengan membuka-buka kitab suci, kita akan menemukan kerangka-kerangka pemahaman baru yang belum pernah kita jamah sebelumnya.

Ternyata kitab suci tidak boleh dipahami secara hurufiah. Ini semacam cerita rakyat atau dongeng atau legenda, yang harus dipahami dari kedalaman makna –bukan secara hurufiah.

PLURALISME
Pluralisme bukanlah sinkretis, konsep “gado-gado”, atau sekedar ajang silaturahmi –semacam basa-basi tokoh agama.
Pluralisme adalah pengakuan akan keragaman dan penghargaan atas perbedaan berpikir, yang bermuara sebuah tujuan yaitu kerjasama untuk mengatasi permasalahan bersama, seperti ketidakpedulian, kekerasan sosial, materialisme, dan krisis kemanusiaan.

F.X.E.Armada Riyanto, CM., dalam Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1995), hal 45-46, menyebutkan:
Sebuah wajah gereja yang inklusif tercantum dalam Gaudium Et Spes 22 dikatakan bahwa upaya keselamatan diluar intansi gereja adalah mungkin, karena pekerjaan Roh Kudus tidak dibatasi oleh Gereja.

Kutipan diatas adalah salah satu pemahaman agama inklusif. Penekanan ajaran agama yang inklusif juga ada agama-agama lainnya. Paling tidak inklusivitas telah menjadi bagian dari praktik keagamaan walaupun secara grass root masih banyak diwarnai identitas agama yang tidak memberi tempat pada rasa empati, kesalingpengertian, dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda agama/pandangan hidup.

Tujuan kerjasama lintas agama juga bisa dalam hal untuk saling menginspirasi dan memperkaya pengalaman spiritual masing-masing.

Dalai Lama sering berujar kepada orang yang berbeda agama seperti ini.
Akan lebih baik, jika Anda mencari dalam tradisi Anda masing-masing

Pluralisme akan semakin fasih jika setiap orang lebih menitik beratkan ezensi daripada aspek lahiriah agama saja.


PRAKTIK MEDITASI
Spiritual Quotient (SQ) adalah penjelasan psikologi tentang spiritualitas setelah dunia dikejutkan dengan konsep Emotional Intelegence.

Saya berpendapat bahwa SQ tidak lengkap dipahami sekedar teori sebagai bahan pembelajaran intelektual. SQ mesti memiliki rujukan dalam hal displin praktik, suatu jenis terapi mandiri yang membantu menumbuhkan SQ.
Disiplin praktik tersebut adalah meditasi.

Apa yang terjadi dalam praktik meditasi?
Penjelasan sederhananya adalah seperti ini.
Spiritualitas adalah kemampuan menghadapi ketidakpastian dalam hidup. Kemampuan ini akan menumbuhkan kebahagiaan dari dalam. Jika kebahagiaan bukanlah ekternal –sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya, berarti metode yang digunakan justru dengan berlatih “melepas”, bukan “mendapatkan”.

Praktik meditasi adalah berlatih “melepas” pada tingkat mikro.
Mikro disini mengacu pada obyek meditasi yang sederhana, seperti sensasi napas, sensasi tubuh, dll.

Walaupun mikro, tapi praktik ini memberikan hasil yang baik pada tingkat makro.
Tingkat mikro ini memungkinkan praktisi masuk pada level kesadaran yang lebih dalam. Dalam dunia psikologi , tingkat pikiran itu disebut bawah sadar.

Ketidakbahagiaan kita telah merasuk pada level bawah sadar, karena itu butuh pemahaman intuisi pada level kesadaran yang sama. Kebiasaan yang dilatih dalam level bawah sadar akan memberikan pengaruh ketika pikiran berada dalam keadaan sadar pada kehidupan sehari-hari.

Praktik Meditasi ini adalah Spiritual-Hypnosis.

Inspirasi terbesar dari praktik meditasi adalah retret meditasi yang pernah saya ikuti, terutama vipassana dan Zen. Banyak pararelisme dari guru-guru meditasi yang pernah ada seperti Ajahn Chah, Thich Nhat Han, Cheng Yen, Guo Jun Fashi, Sogyal Rinpoche, Goenka, Sayadaw U Pandita, dll.

KESUKSESAN
Kesuksesan tidak selalu bersifat materi, seperti memiliki penghasilan yang besar, memiliki rumah mewah, mobil mewah, dll. Saya lebih mengacu pada pandangan Stephen R. Covey yang lebih tertarik menyebutkan efektivitas dari pada kesuksesan. Efektivitas disini berkaitan dengan pertumbuhan pribadi yang melibatkan kehidupan sosial dalam organisasi yang dilakoninya, yang mengarah pada tercapainya visi dan misi.

Visi dan misi pribadi mesti didasari kebahagiaan. Apa yang kita lakukan adalah mencerminkan siapa diri kita. Demikian juga misi dan visi. Saya rasa problematik kehidupan berawal dari kekeliruan dalam menentukan misi dan visi.

Jika kita menentukan visi dan misi berupa kesenangan-kesenangan sesaat, maka dengan mudahnya kita akan meninggalkan upaya-upaya mengarah pada visi dan misi tersebut. Atau seandainya kita berhasil meraih kesenangan itu, hidup kita tetaphampa dan tetap tidak tahu cara bahagia. Tapi jika kita memiliki visi dan misi yang memiliki nilai dan layak diperjuangkan, maka kita akan terus pada jalur upaya itu. Menariknya, visi dan misi sejati selalu memberi kebahagiaan baik selama proses maupun setelah berhasil diraih, akan selalu ada kebaikan dan kebahagiaan.

Pada umumnya orang berpikir bahwa harus sukses dulu baru bahagia.
Dalam pemahaman spiritual, justru sebaliknya. Bahagia dulu baru sukses!

Dibutuhkan proaktivitas spiritual, yaitu: berbahagia saat ini.
Dan hal itu dilatih dalam praktik meditasi.

WAWASAN EKOLOGIS
Wawasan ekologis adalah salah satu ciri-ciri spiritualitas. Seperti yang diungkapkan Lao Tzu, “Ketika ada kedamaian dalam diri, maka ada kedamaian di dunia”. Ada pengaruh antara keberhasilan diri dengan keberhasilan sosial secara umum. Teori-teori Fisika kontemporer seperti teori Chaos telah membuktikan hal itu.

Pandangan Fritjof Capra telah menginpirasi saya untuk memahami spiritualitas dalam konteks wawasan ekologis. Karena jika tidak, maka tidak ada bedanya dengan praktik yang eksklusif, yang tidak bisa digunakan dalam kehidupan bermasyarakat.

Apapun pemahaman tentang hidup, ideologi, agama, sistem filsafat, apapun, perlu dieksekusi pada level individu.

Dan apa yang kita lakukan (eksekusi), itu akan berpengaruh secara sosial.

* * *

Delapan buah pokok pemikiran -- (1) ETIKA, (2) AFIRMASI, (3) KEBAHAGIAAN, (4) PENDEKATAN MISTIK, (5) PLURALISME, (6) PRAKTIK MEDITASI, (7) KESUKSESAN, (8) WAWASAN EKOLOGIS – walaupun terkesan ‘berat’, tapi saya mencoba menyajikannya dalam bentuk sederhana, gaya penyampaian how to, dalam USING NO WAY AS WAY!

USING NO WAY AS WAY meramu filsafat, psikologi, meditasi, dan spiritualitas dalam sebuah benang merah, yang berpuncak pada pedoman praktis. Metode menuju kebahagiaan sejati adalah USING NO WAY AS WAY (ketanpatujuan sebagai bagian dari praktik).

Semoga buku yang saya tulis itu menginspirasi dan memberikan paradigma baru sehingga membantu kita memiliki sikap yang lebih membahagiakan.
Be Happy!

Sabtu, 25 Juli 2009

SUKSES ITU “PASTI”!





Cara termudah untuk menjadi sukses:
Menjadi yang terbaik dalam apa pun yang Anda lakukan
”.
(Thomas J. Leonard)



Ada sebuah eksperimen sederhana tentang niat atau aspirasi yang bisa mewujudkan kenyataan.
Ambil seutas benang dan ikatkan pada sebuah bandul. Saya sering menyarankan bandul itu adalah sebuah cincin. Setelah itu angkat ujung benang tersebut dengan tangan Anda.

Cincin itu mungkin sedikit bergerak. Yang penting, tenangkan cincin itu, biarkan bandul itu diam sejenak.

Setelah itu, lakukan dengan niat tertentu.
Maksud saya, perintahkan cincin itu bergerak dengan pola lingkaran.
Amati apa yang terjadi.

Cincin itu akan bergerak dengan pola melingkar.
Wah, mungkin ini kebetulan.

Coba tenangkan cincin itu lagi.
Sekarang perintahkan cincin itu bergerak dengan pola elips yang memanjang.
Amati apa yang terjadi.
Apakah itu kebetulan?

Masih banyak bukti yang menjelaskan bahwa niat atau aspirasi dari pikiran dapat mempengaruhi kehidupan kita.

Para terapis sering membantu para kliennya dengan memprogram ulang bawah sadar untuk menentukan niat atau aspirasi tertentu. Pada umumnya, niat itu diarahkan pada kesuksesan finansial, kesehatan, meningkatkan rasa percaya diri, bahkan untuk menyelesaikan permasalahan neurotik.

Sebagaimana yang sering saya tekankan dalam USING NO WAY AS WAY!
Spiritualitas adalah kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian dalam hidup.

Seberapa hebat dan mulia misi dan visi kita, tujuan kita, niat kita, entah ingin sukses, ingin memiliki tahapan kehidupan tertentu, yang jelas proses menuju tujuan dan termasuk tujuan yang kita maksudkan itu selalu dalam ruang lingkup ketidakpastian.

Banyak orang mengkhawatirkan masa depannya.
Apakah bisnis yang baru dirintisnya bisa laku dan berhasil?
Apakah dia bisa sukses dan menafkahi keluarganya dengan baik?
Masih banyak harapan-harapan lainnya.

Pada umumnya, orang sulit menerima ketidakpastian dan mencari kepastian dalam tujuan. Padahal ketidakpastian adalah sesuatu yang akan kita jumpai sepanjang hidup.

Secara metafisis, niat atau aspirasi selalu berhasil mewujudkan menjadi kenyataan. Hanya saja masalahnya adalah waktu, kapan benih itu akan menjadi pohon. Terlepas, pohon itupun suatu saat akan berubah diterpa usia.

Kemampuan spiritual bermain sangat penting dalam hidup.
Pada umumnya orang ingin memiliki masa depan yang sukses, namun dia menghamburkan energinya pada rasa tidak suka pada keadaan masa kini.

Benih yang telah di tanam bawah sadar justru tidak diperhatikan dan dipelihara dengan baik, karena dia lebih banyak mempersoalkan ketidakpuasan dan terlalu ngotot dengan ide “benih instan”.
Jika demikian, maka SUKSES ITU “PASTI”! Yang menjadi masalah bukan tercapai atau tidaknya tujuan itu. Yang menjadi masalah adalah bagaimana untuk selalu hidup bahagia.

Bukankah bahagia itu justru membuat proses menuju kesuksesan lebih efektif?

Selasa, 14 Juli 2009

SIAPAKAH AKU? Melampaui De-Rasionalisasi & Re-Rasionalisasi




Hakikat sifat kita adalah diam, berbicara hanya sekadar tambahan.
(Kahlil Gibran)

Zen pada intinya adalah seni menyikapkan watak sejati diri kita, dan
menunjukkan jalan dari keterikatan menuju kebebasan.

(D.T. Suzuki)

Aku tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Aku’.”
(Ajahn Chah)

Mereka yang tahu akan diam.”
(Lao Tzu)

Tuhan direndahkan hingga ke dalam kontradiksi kehidupan,
bukannya kedalam transfigurasinya, dan ‘Ya’ yang abadi
.”
(Nietzsche)


Pemahaman jati diri sejati adalah salah satu ciri pendekatan dalam tradisi mistik. Mungkin ketika kita banyak membaca literatur filsafat, kita cenderung memahami jati diri sebagai peranan “Aku” dalam melakukan rasionalisasi. Menjadi pandai, dan mampu memahami sesuatu secara kritis adalah identitas diri yang menjadi daya tarik.

Saya merasakan justru banyak gelisah, dan mudah agresif terutama dalam menghadapi situasi yang argumentatif. Hanya menjadi kritis, itu tidak akan memberi perbaikan. Dalam pandangan saya, menjadi kritis dan suka dengan filsafat mesti harus masuk dalam pendekatan mistik.

Mistik disini bukanlah hal gaib, suatu bentuk degradasi pemikiran atau de-rasionalisasi. Mistik juga tidak berarti re-rasionalisasi. De-rasionalisasi dan Re-rasionalisasi, keduanya, adalah siklus kebingungan manusia. Pendekatan mistik adalah melampaui keduanya.

De-rasionalisasi yang didasari keyakinan buta dan harapan adalah wujud ketidakberdayaan. Karena itu, Meister Eckhart –sang mistikus Kristen, pernah berkata, “Aku berdoa kepada Tuhan untuk membebaskan aku dari Dia.” Beragama bukanlah solusi imajiner dengan dalih keyakinan, tapi menyalami –sehingga keyakinan tidak lagi buta. Karena keyakinan yang sejati adalah pengetahuan yang sejati.

Sementara re-rasionalisasi sekilas menuju pada kebenaran. Namun kita akan semakin menyadari bahwa pemahaman rasio hanyalah peta yang tidak akan pernah menjadi wilayah. Satu-satunya manfaat peta adalah untuk petunjuk jalan –tanpa harus berambisi menjadi peta sempurna. Master Hui Neng, sesepuh ke-6 Zen, mengumpamakannya seperti jari telunjuk yang mengarah pada terang bulan yang indah di malam hari. Telunjuk tidak akan pernah menjadi bulan.

Sifat hakiki kita adalah diam. Sifat sejati kita adalah mengalami dalam keheningan, bukan menciptakan keributan dan prasangka. Upaya menciptakan adalah wujud penderitaan, berusaha mengatasi banyak hal demi imbalan kebahagiaan adalah absurd (baca: sia-sia). Kenyataannya, gerak upaya kita tidak pernah menjadi kebahagiaan. Upaya itu hanya memberi kesenangan sesaat. Dengan berdiam, kebahagiaan itu akan hadir secara alami tanpa harus diperintah dan direncanakan dengan penuh perhitungan.

Menjadi seorang mistikus adalah sekedar tahu, tanpa sok tahu, hanya mengalir bersama arus perubahan. Nietzsche memahaminya dengan berkata “Ya” pada kehidupan. Tyler T. Roberts memahami dengan mengatakan, “mengetahui diri sendiri sebagai becoming, orang mengetahui diri sendiri sebagai yang sudah menjadi ‘sesuatu yang lain’.” Ataupun seperti ungkapan Saint Agustine, “If you can understand it, then it is not God.

Guru-Guru Zen sering memancing dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah Aku?” Jika masih ada “Aku” yang berbicara, maka itu hanya re-rasionalisasi. Jika tidak peduli dengan filsafat rumit dan memilih asyik dengan sandaran “harapan”, itu adalah de-rasionalisasi. Menjawab pertanyaan tentang jati diri itu adalah dengan berdiam, penyadaran akan adanya tanpa “Aku”. “Aku tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Aku’.”

Tidakkah kita sudah menyadarinya?

Jumat, 10 Juli 2009

EKSKLUSIVITAS BUKANLAH SPIRITUALITAS




Adalah berbahaya untuk mengisolasi diri secara berlebihan,
menghindari batas-batas masyarakat.

(Soren Kierkegaard)


Ada sebuah kisah tentang seorang raja telanjang yang merasa dirinya telah memakai pakaian kebesaran yang paling indah.
Sang Raja amat peduli dengan pakaian kebesarannya, sehingga membuat penjahit istana kebingungan untuk menerjemahkan keinginan raja. Hingga suatu saat penjahit itu menawarkan sebuah pakaian kebesaran yang paling anggun dan mulia.
Ini yang mulia, pakaian kebesaran terbaik yang pernah ada di kerajaan ini”, kata sang penjahit.
Tapi aku tidak melihat sesuatu apapun, ” raja itu berkata.
Pakaian ini memang tidak terlihat karena terlalu berharga dan hanya cocok digunakan oleh raja yang terhormat.”
Dicobanya pakaian itu, namun sang raja tidak merasa dirinya telanjang –terlena oleh kehormatan yang dikatakan penjahit istana.

Sang raja dalam “pakaian kebesarannya” itu menanyakan pada setiap orang di istana apakah indah pakaiannya. Dan selalu pegawai istana mengatakan bahwa pakaian itu sangat indah dan menakjubkan. Raja pun tersenyum bangga dan merasa menjadi simbol kerajaan yang paling baik dan dimuliakan. Setiap orang di sekeliling istana dan para menteri telah sepakat untuk menjawab sesuai dengan apa yang diinginkan Sang Raja itu –karena tidak ada seorangpun yang berani terhadap raja.

Hingga suatu Sang Raja ingin keluar dari istana dengan maksud berkeliling melihat wilayah kerajaan sambil memamerkan pakaian kebesarannya. Para rakyat telah diberitahukan satu hari sebelumnya bahwa Sang Raja akan berkeliling dan tetap memberikan penghormatan yang tinggi walaupun raja akan berkeliling dengan telanjang.

Tiba saatnya raja telanjang itu berkeliling luar istana beserta para rombongan kerajaan. Sepanjang perjalanan, semua rakyat memberikan penghormatan dan menampilkan mimik wajah yang kagum. Hingga terdengar suara seorang bocah kecil yang dengan lugunya berkata pada orang tuanya.
Bu, mengapa raja itu telanjang?

Kita sering mencari penghiburan dengan wilayah sosial kita. Kita mungkin memilih istri hanya karena dia adalah orang yang bisa memuaskan ego kita dengan memberikan kekaguman tertentu. Kita mungkin berteman dengan nyaman pada orang-orang tertentu saja, dan menghindari orang-orang yang tidak kita sukai atau berbeda pandangan dengan diri kita. Bahkan mungkin kita memilih komunitas spiritual, bukan karena kita berspiritual tapi karena tidak mampu hidup berdampingan dengan orang yang berbeda tradisi dengan kita.

Memiliki kesimbangan bathin berarti bahwa orang-orang boleh mengatakan hal buruk tentang kita dan kita bisa memakluminya. Jika kita mudah terluka atau tersinggung oleh hidup, maka selamanya kita akan melarikan diri dari keadaan, atau kita hidup dengan ditemani sekelompok “penjilat” –yang membuat kita semakin sulit untuk memahami diri sendiri.

Thich Nhat Hanh, seorang Guru Meditasi, pernah menulis: “Meditasi bukan ditujukan agar kita keluar dan menarik diri dari masyarakat, namun untuk mempersiapkan diri kita memasuki kembali dunia masyarakat.” Jika kita belum membawa manfaat praktik dalam kehidupan di tengah masyarakat, maka kita hanya mengambil kesenangan dalam “spiritualitas”. Karena keberhasilan latihan diukur ketika kita berada keadaan yang biasanya tidak nyaman di tengah masyarakat.

Kamis, 02 Juli 2009

BELAJAR TENTANG KETIDAKPASTIAN DALAM “THE OXFORD MURDERS”




Sayangnya bagaimanapun.
Hal ini tak ada sangkut pautnya dengan kebenaran ...
Ini hanyalah rasa takut
”.
(Profesor Arthur Seldom, dalam film “The Oxford Murders”)


Ada sebuah adegan menarik dalam film “The Oxford Murders”.
Pada waktu itu seorang profesor dan ahli matematika bernama Arthur Seldom sedang mempresentasikan sebuah buku karangannya di atas podium dalam sebuah aula yang dihadiri banyak mahasiswa di Oxford.

Sang profesor berkata,
Tidak ada cara yang bisa menemukan kebenaran mutlak. Argumen tak terbantahkan yang bisa bantu menjawab pertanyaan umat manusia. Dengan begitu filosofi telah mati. Karena dimana kita tidak bisa berbicara dengan begitu kita harus berdiam diri”.

Ada keheningan sejenak ketika profesor selesai berbicara uraian yang singkat dan padat itu, namun tiba-tiba seorang mahasiswa bernama Martin menunjukkan diri ditengah kerumunan audiens yang lain.

Oh, sepertinya ada yang ingin bicara. Sepertinya kau tidak setuju dengan pendapat ini. Itu mungkin artinya kau telah temukan kontradiksi dalam argumen dari risalah itu atau ada kebenaran mutlak yang akan kau bagi dengan kita”. Sang profesor memperhatikan mahasiswa itu.

Aku percaya pada angka pi (3,14),” kata Martin sambil berdiri.
Audiens yang lain tertawa.

“Aku tidak mengerti. Kau bilang percaya pada apa?”, tanya profesor sambil maju dan turun dari podium mendekati Martin.

Pada angka pi. Dalam seksi emas. Urutan fibonacci. Inti dari alam bersifat matematis. Ada arti tersembunyi dibalik kenyataan. Hal yang teratur mengikuti modelnya. Sebuah skema, sebuah urutan logis. Bahkan butiran salju juga memiliki basis angka-angka pada strukturnya. Karena itu jika kita berhasil menemukan arti tersembunyi dari angka-angka kita akan mengetahui arti tersembunyi dari kenyataan”.

Mengesankan. Menerjemahkan kata-kata Fobonacci dalam bahasa Inggris”, kata profesor Seldom yang segera diiringi tawa audiens.

Kita dapati diri kita dalam pembelaan matematika yang segar dan bersemangat yang seolah angka-angka itu juga merupakan ide nyata dalam kehidupan. Lagipula ini bukan hal baru. Karena manusia tak bisa menyatukan pikiran dan benda. Ia berusaha untuk merubah beberapa perbedaan dalam pemikiran. Karena ia tak bisa menerima konsep bahwa abstrak murni hanya ada dibenak kita. Keindahan dan harmoni dari butiran salju.
Para audiens tertawa setelah profesor menyebutkan kalimat terakhir tentang harmoni butiran salju.

Sambil kembali pada podium, profesor berkata,
Indah sekali. Kupu-kupu yang kepakkan sayapnya dan menyebabkan badai di belahan dunia lain. Kita sudah mendengar tentang kupu-kupu itu selama berabad-abad. Tapi siapa yang bisa menduga sebuah badai? Tak seorangpun.”

Tiba-tiba profesor Seldom berbalik dan ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
Katakan padaku! Dimana keindahan dan harmoni dari kanker? Apa yang membuat sebuah sel tiba-tiba memutuskan merubah dirinya menjadi tumor ganas pembunuh dan menghancurkan sel-sel lainnya di dalam tubuh yang sehat. Ada yang tahu?

Semua audiens terdiam, termasuk Martin. Tidak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan profesor Seldom.
Akhirnya, profesor menjawab sendiri.
Nah, karena kita lebih suka berpikir soal salju dan kupu-kupu dan penderitaan. Perang? Atau buku itu?”, sambil menunjuk buku karangannya di podium.
Kenapa? Karena kita butuh berpikir bahwa hidup memiliki arti. Tapi semuanya terjadi karena logika dan bukan karena kebetulan.”

Profesor masih berusaha menjelaskan sambil kembali ke atas podium,
Jika kutulis 2 & 4 & 6, maka kita sudah tahu berikutnya pasti 8. Kita bisa menduganya. Kita bukan dalam genggaman takdir.”

Di atas podium, profesor menutup presentasinya dengan pemahaman yang mendalam.
Sayangnya bagaimanapun. Hal ini tak ada sangkut pautnya dengan kebenaran. Setuju? Ini hanyalah rasa takut. Menyedihkan. Begitulah.”

* * *

Ketidakpastian adalah kenyataan yang tidak hanya dipahami oleh tradisi spiritual, tetapi juga pada dunia fisika dan matematika, sebagaimana yang diungkapkan dalam tokoh Profesor Arthur Seldom. Manusia mencari kepastian bukanlah untuk menjadi penguasa alam, dekat dengan Tuhan, ataupun untuk merasakan kedamaian. Semua itu lebih didasari hal negatif yang mendasar, yaitu rasa takut, yang tidak lain adalah penderitaan.

Menjadi bahagia bukanlah berasumsi tentang kepastian. Bahagia akan hadir secara alami dari dalam justru pada saat kita mengakui ketidakpastian dalam hidup.

Pada akhirnya, cara bahagia dengan menghadapi ketidakpastian adalah sesuatu yang kita butuhkan.

Senin, 29 Juni 2009

PEMAHAMAN ADALAH PINTU MENUJU KEBAHAGIAAN SEJATI




Anda hidup di sebuah zaman yang gila, lebih gila dari biasanya.
Karena kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi,
manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat.

(Walker Percy, Penulis Amerika)

Di suatu desa seorang tetua desa selalu membicarakan setan yang membahayakan hidup manusia. Segala masalah selalu dihubungkan dengan pekerjaan setan di dunia ini. Hal itu membuat gusar penduduk, sehingga mereka semakin takut dengan hal-hal gaib.

Suatu ketika ada beberapa penduduk yang mengatasi rasa takutnya dengan mencari perlindungan ke sebuah biara, yang dikenal sebagai tempat suci dan sakral di puncak sebuah bukit. Penduduk itu meminta izin kepala biara dan menceritakan maksud kedatangannya.
Guru, kami takut dengan setan-setan yang membahayakan hidup kami.”

Dengan lembut kepala biara itu berkata, “Percuma, kalian mencari perlindungan di sini. Setan itu akan selalu mendatangimu sekalipun kalian berada di sini.
Para penduduk terlihat kebingungan.
Setan itu adalah ‘setan pikiran’, tidak lain adalah keserakahan dan kebencian. Setan ini adalah menyebab penderitaan, dan ini jauh lebih berbahaya dibanding setan yang lain”, Sang Guru menjelaskan.

Sebagian besar kita masih suka melihat penyebab masalah dari faktor eksternal. Kebahagiaan sepenuhnya internal, karena itu mengembangkan kualitas diri adalah hal yang perlu kita perhatikan. Pemahaman adalah pintu menuju kebahagiaan sejati. Semakin kita menolak pemahaman diri, maka kita tidak akan pernah belajar untuk bahagia.

Jumat, 26 Juni 2009

MEDITASI DALAM LITERATUR KRISTEN




Praktik Meditasi sering dipahami sebagai ajaran agama Timur, terutama agama non samawi seperti Agama Hindu dan Buddha. Meditasi bukanlah monopoli agama tertentu. Jika kita mencermati literatur agama, maka kita akan mengetahui bahwa meditasi ada dalam setiap agama.

Dalam tradisi mistik Kristen, praktik meditasi adalah doa. Menurut Pendeta Victor Tinambunan ada tiga jenis doa, yaitu: talking, listening, dan being. (berbicara, mendengar dan berada).

Berbicara: mengucapkan syukur atas kebaikan Tuhan; mengaku percaya akan kasih dan kebesaran Tuhan, menyampaikan permohonan kepada Tuhan, dan sebagainya. Ini yang paling banyak dilakukan orang Kristen.

Mendengar: mendengar sapaan Tuhan melalui pembacaan firman-Nya (Alkitab), mendengar kehendak Tuhan melalui sesama manusia; melalui peristiwa nyata kehidupan sehari-hari.

Berada: bersama dengan Tuhan. Yesus berkata, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…” (Yoh. 15:4). Meditasi adalah salah satu wahana untuk menghayati dan menerima undangan Yesus ini. Jadi, meditasi adalah bagian dari perjumpaan dengan Tuhan.

Pertanyaannya, diantara tiga doa itu mana yang paling penting?
Menurut Laurence Freeman, itu adalah pertanyaan yang salah. Ini sama dengan menanyakan mana yang paling perlu: otak, jantung atau perut. Salah satu di antaranya tidak terlalu bermanfaat tanpa yang lain. Dalam hal ini, meditasi tidak menggantikan doa-doa yang lain. Satu hal yang mendasar dalam ketiga jenis doa itu adalah soal “hubungan” kita dengan Tuhan.

Dalam meditasi kita tidak mengajukan permohonan atau meminta kepada Tuhan. Kita malah tidak berpikir tentang Tuhan, tetapi terutama kita bersama dengan Tuhan. Kita tidak mencari kehadiran-Nya. Dia ada bersama kita dan di dalam kita. Kita hanya perlu menyadarinya dan menyambut-Nya setiap saat, secara khusus dalam meditasi. Meditasi sangat sederhana, meskipun harus diakui bahwa ‘sederhana’ tidak selalu mudah, khususnya di era modern ini.


Sumber memadai untuk Meditasi Kristen dapat dilihat pada: http://www.wccm.org/

Senin, 22 Juni 2009

BAHAGIA ADALAH FAKTOR KESUKSESAN




Peace.It does not mean to be in a place where
there is no noise, trouble or hard work.
It means to be in the midst of those things and
still be calm in your heart
.”
(Anonim)

Secara tidak sengaja saya menenukan kutipan anonim di atas. Sering juga beberapa orang memahami kebahagiaan dalam praktik meditasi adalah di luar rutinitas sehari-hari, bahkan dipahami sebagai praktik yang jauh dari kesibukan pekerjaan. Sebagai akibatnya pula, meditasi hanya dianggap sebagai sarana relaksasi ditengah ketegangan dalam sehari-hari.
Ada sebuah kenyataan menarik, bahwa kebahagiaan yang dilatih lewat praktik meditasi menjadi faktor kesuksesan seseorang.

Dalam Guardian 19 Desember 2005, Dr. Sonja Lyubomirsky, Ph.D menegaskan bahwa orang yang bahagia memiliki masa depan yang lebih baik. Katanya, “Ada bukti kuat bahwa kebahagiaan membawa orang untuk lebih bersosialisasi dan lebih murah hati, lebih produktif dalam kerja, lebih banyak uang, dan memiliki sistem imun yang lebih kuat”.

Jika pikiran kita selalu dipenuhi kebahagiaan, maka kita akan bekerja dengan lebih baik. Efektivitas dalam pekerjaan dan menjalani hidup tergantung dengan kebahagiaan. Sebaliknya jika kita menderita dan selalu diliputi kebencian terhadap keadaan, maka energi kita banyak terhamburkan dan tidak dapat fokus dengan visi dan misi pribadi.

Yang harus kita sadari bahwa tantangan yang dihadapi organisasi modern adalah membuat organisasi bahagia yang menjadi salah satu strategi yang mendesak dan memberikan keberhasilan jangka panjang. Belajar untuk menjadi bahagia bukan hanya kebutuhan individu, tapi juga untuk tujuan perusahaan.

Rabu, 10 Juni 2009

TIDAK HARUS MENDEDIKASIKAN "KEPANDAIAN"




Mengenai cara untuk mengejar pencarian batinmu,
buanglah semua yang akan menambah keterikatan pada diri dan
racun batin, meskipun kelihatannya baik.

(Milarepa)

Kita berandai-andai saja, entah ini sudah terjadi dalam diri Anda atau belum. Sebut saja Anda begitu pandai, memiliki pendidikan tinggi, pengakuan akan prestasi, apa lagi. Mungkin juga karir yang tinggi menjulang. Setiap orang yang melihat Anda, hanya bisa heran, kagum, dan meminta petunjuk pada seorang maestro seperti Anda.

Apa yang Anda pikirkan dengan visi dan misi?
Hampir setiap orang yang saya tanyakan selalu menyebutkan bahwa dia akan mendedikasikan seluruh kepandaian dan upaya optimalisasi otaknya bagi kebaikan semua orang.

Membantu orang melalui bakat unik kedengarannya adalah sesuatu yang hebat.

Suatu saat kita juga akan mengerti bahwa banyak orang yang di luar sana yang tidak peduli dengan “bakat” Anda. Mereka hanya butuh senyuman, perhatian, rasa empati, tindakan tulus sederhana dari Anda.

Mengapa kita suka mendedikasikan sesuatu yang rumit?
Mengapa tidak diawali dari kesederhanaan saja?
Yaitu kebaikan hati, termasuk dalam aktivitas yang mungkin dirasa kecil dan tidak unik.

Senin, 01 Juni 2009

MENATAP KEINDAHAN DIRI




Konon ada seorang pemuda yang bernama Narcissus. Dia sangat mengagumi wajahnya sendiri. Setiap hari dia di pinggir danau untuk mengagumi wajahnya sendiri. Suatu ketika, dia tidak bisa mengatasi keterpikatannya dengan bayangan wajahnya sendiri dengan menceburkan diri di danau itu. Itulah akhir dari kisah Narcissus, yang menjadi asal mula istilah “narsisme” yang kita kenal sekarang ini.

Paulo Coelho mengawali novelnya berjudul Sang Alkemis dengan kisah Narcissus yang sedikit berbeda.

Dikisahkan setelah Narcisus meninggal karena tenggelam dalam danau. Dewa hutan muncul dan bertanya pada Sang danau.

Kenapa kamu menangis?
Aku sedang meratapi Narcissus,” sahut Sang Danau.

Ah, tidak mengherankan jika kamu meratapi Narcissus,” Dewa mengatakan, “Aku selalu membujuknya untuk pergi ke hutan, kamu sendiri [yang sering] melihat keindahannya dari dekat.”

Tapi... bukankah Narcissus begitu indah?

Tahukah kau yang sebenarnya?” Dewa berkata. “Dia berada di tepi danau untuk menatapi bayangannya sendiri.”

Sang Danau berdiam agak lama, lalu berkata.
Aku meratapi Narcissus, tetapi Aku tidak pernah tahu keindahannya. Aku meratapinya karena, setiap kali dia berada ditepianku, Aku dapat melihat, dalam kedalaman matanya, refleksi keindahanku sendiri.”

Kisah Narcissus mengingatkan bahwa kita terlalu banyak melakukan sesuatu yang seakan-akan demi orang lain, tetapi itu hanyalah untuk memuaskan diri sendiri.

SURGA SEORANG MISTIKUS




Lautan bisa ditimbun, mulut manusia selamanya tak akan bisa diisi penuh.
(Master Cheng Yen)

Kadang saya membayangkan betapa repot Tuhan memenuhi kebutuhan manusia.
Setiap isak ratap tangis, kebutuhan akan harapan, pengampunan, selalu membanjiri pekerjaan Tuhan dan selalu ditunggu jawabannya.

Jika ada 1000 orang, maka ada 1000 surga yang harus diciptakan Tuhan.
Andaikata hanya 1000, manusia sering tidak puas dan akan meminta 1000 yang lain, dan seterusnya.

Setiap selera, minat, selalu menjadi persyaratan-persyaratan akan arti kebahagiaan.
Mengapa tidak dibuat sederhana saja?
Biarkan Tuhan beristirahat.

Bukankah kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri?

Surgaku ada dalam hatiku”, seorang Mistikus pernah berkata.

Jumat, 29 Mei 2009

LAUNCHING BUKU ‘USING NO WAY AS WAY!’



Sebuah masalah, seperti marah dan benci, itu muncul secara refleks. Kita semua memiliki emosi negatif yang muncul secara spontan, dan itu harus disadari sebagai penderitaan.
Upaya mengatasinya pada umumnya adalah dengan mengandalkan rasio untuk mengendalikan diri. Rasio itu bisa dalam bentuk etika agama, norma-norma masyarakat, atau bentuk aturan lainnya.

Tapi rasio itu hanya permukaan. Rasio memiliki tingkatan kesadaran pikiran yang jauh dan belum menjangkau tingkatan halus seperti halnya emosi negatif itu. Itulah mengapa, kita kadang menjadi orang baik terutama dalam keadaan mood yang baik, dan juga menjadi orang yang buruk, seperti marah, benci, dan menyalahkan keadaan.

Ini seperti analogi balon karet. Pada batas tertentu rasio bisa menjaga agar balon tertiup sesuai dengan ukurannya. Tapi ketika angin dalam balon itu berlebihan, balon itu akan meletus. Ketika masalah menumpuk dan kita tidak bisa mengatasinya dengan rasio, emosi negatif itu akan muncul demikian kuat, marah, benci, bahkan merugikan orang lain.

Kita butuh pendekatan dengan tingkat kesadaran yang menjangkau wilayah emosi. Dalam hal ini adalah wilayah intuisi. Saya menyebutkannya kebijaksanaan intuitif sebagai penyeimbangan kebijaksanaan rasio.

Bagaimana melatih kebijaksanaan intuisi?
Caranya adalah berlatih meditasi.
Meditasi adalah sarana meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual.

Itulah kurang lebih pengantar awal yang saya berikan dalam acara launching buku USING NO WAY AS WAY!

Launching buku USING NO WAY AS WAY diadakan pada hari sabtu, tanggal 23 Mei 2009 di Yogyakarta, tempatnya di Gramedia Sudirman pada jam 16.00 dan di Gramedia Ambarukmo Plaza pada jam 19.00.

Berikut adalah suasana launching di Gramedia pada saat itu.
Suasana di Gramedia Sudirman. Saya merasakan ada apresiasi yang positif tentang buku saya.


Suasana awal di Gramedia Ambarukmo plaza. Sepi, belum banyak yang tertarik untuk mendengarkan.


Terus bicara saja. Jika memang apa yang dibicarakan bermanfaat dan memberi inspirasi, pasti ada yang mau mendengarkan.


Perlahan, kursi-kursi kosong dipenuhi. Bahkan ada yang hingga berdiri dibelakang.


Setiap pertanyaan yang dilontarkan audiens saya catat, sebagai bahan referensi yang berharga. Secara umum, dari semua pertanyaan yang diberikan menunjukkan minat yang besar dalam hal mencari ketenangan dan kebahagiaan hidup. Ternyata banyak orang yang tidak tahu perbedaan antara kebahagiaan dengan kesenangan.


Kabar baik! Di Gramedia Ambarukmo Plaza, buku saya diletakkan dalam rak Recommended.
Mas Fahd Djibran, yang juga pimred Juxtapose, sempat komentar. Mungkin banyak orang menderita dan ingin bahagia kali ya.. hingga USING NO WAY AS WAY! mulai diminati.
Mbak Paryatun dan Mas M. Nizar, duo editor hebat dari Juxtapose, juga memberi “angin surga”. Biasanya kalo sudah masuk recommended, sebentar lagi bestseller.


Sebagai penulis pemula andaikata bisa bestseller itu mengejutkan sekali. Yang jelas, jika buku yang saya tulis bermanfaat, itu sudah senang walaupun tidak harus bestseller.

Terakhir sebelum pulang, mama, papa, dan adikku berfoto selesai acara launching. Sayang istri dan anakku tidak bisa datang pada acara launching. Mungkin lain kali, pada waktu launching buku berikutnya.


Semoga buku sederhana yang saya tulis bisa bermanfaat bagi banyak orang!
Be Happy!