Sabtu, 10 Januari 2009

PROBLEMATIK BEROPINI: CARA MENANGKAP ULAR YANG SALAH



Don’t seek the truth, just drop your opinions
Pepatah Zen

Beropini adalah kendala meditasi yang dialami orang-orang yang suka membaca buku. Dan tentu orang semacam saya yang suka menulis juga termasuk yang mengalami kendala ini. Karena sudah jelas, membaca dan menulis itu tidakjauh berbeda. Keduanya suka mengutak-atik gambaran akan realita.

Saya tidak bermaksud mengolok-olok filsafat dan meremehkan minat baca buku. Hanya saja kita perlu waspada. Berargumentasi itu bisa dimotori oleh nafsu untuk berkuasa.

Dalam sebuah retret saya pernah berusaha untuk mengkonstruksi kembali pengalaman meditasi. Segala aktivitas selalu saya buat abstraksi singkatnya, walaupun selama retret tidak boleh menulis catatan atau jurnal. Namun saya berusaha untuk memanfaatkan jeda sesi dengan mereview kembali apa yang telah saya alami -- walaupun tanpa alat tulis dan secarik kertaspun.

Pedoman pertama yang saya gunakan untuk memulai sebuah retret adalah jangan ingin bahagia jika memang ingin bahagia.
Sebut saja ini jurus “Using No Way as Way!”.
Setelah beberapa saat bermeditasi, ada ketenangan.
Wah, jurus ini manjur”, pikir saya.

Di sesi berikutnya, saya gelisah dan meditasi menjadi kacau.
Semakin saya ingin menerapkan jurus ini, meditasi yang saya alami semakin tidak tenang.
Pada jeda waktu berikutnya, saya mencoba menganalisa. Ada sebuah kesimpulkan.
Wah, saya kacau karena melekati metode.
Lalu saya membuat jurus kedua, “No Using No Way as Way!” Saya hanya menambahi “No” didepan jurus pertama.

Pada sesi berikutnya, saya bisa lebih tenang. Namun di sesi selanjutnya lagi, pikiran menjadi kacau kembali. Jadi bingung, apakah saya harus menciptakan jurus-jurus baru lagi. Akhirnya, saya tetap buat jurus baru lagi. Kali ini jurus itu tidak punya nama. Karena harus ada nama, saya terpaksa memberi nama “No Method”. Ini jurus tentang bukan jurus.

Selanjutnya, meditasi saya kembali tenang lagi. Tapi berikutnya sama lagi, saya tidak tenang. Saya harus menciptakan jurus-jurus baru, dan bingung harus memberi nama apa lagi. Mungkin akan “No No Method”. Berikutnya akan selalu berkembang menjadi “No” yang lainnya lagi.

Akhirnya saya menyadari, bahwa sebenarnya tidak perlu ada jurus. Cukup jangan beropini terus-terusan! Jangan peduli bisa memetik hikmah dengan buat abstraksi atau tidak.

Saya ternyata hanyalah seorang kutu buku yang bernafsu pada abstraksi, walaupun bolehlah obyek pengetahuan itu tentang Dhamma, filsafat, atau apapun yang dianggap paling bermanfaat. Nafsu bisa menjelma dalam setiap kebanggaan, termasuk pada “jurus-jurus suci”.

Banyak tradisi meditasi telah mengingatkan bahwa pemahaman intelektual kita itu tidak bisa membuat kita lebih bahagia. Realisasi sebenarnya tidak butuh jurus. Tapi komunikasi antar guru dan murid harus ada kata-kata. Seperti pepatah Zen, “Don’t seek the truth, just drop your opinions”.

Jika kita sedang mengalami masalah, mungkin kata-kata itu membuat kita terinspirasi. Kata-kata yang dimaksudkan bukan untuk menindaklanjuti opini (yang tambah panjang) bisa menjadi terlalu sakral. Jika sudah demikian, kita akan kehilangan ezensi dari kata-kata dan kita terhasut oleh kesenangan dalam hal berkata-kata.

Dhamma memang diumpamakan seperti menangkap ular.
Menangkap bagian tubuh ular yang salah, sang ular akan mematok lengan kita sendiri.

Biarlah pemahaman intelektual digunakan untuk mengevaluasi diri kita dan sebagai sarana berbagi yang tulus. Semuanya guna untuk bebas dari penderitaan. Itu saja, yang membuatnya bermanfaat. Selebihnya hanya pamer.

1 komentar:

Chindy Tan mengatakan...

Hai, salam kenal...
tulisan2 Anda sangat inspiratif. Mengamati gerak hati menjanjikan sejuta kejutan, momen ketika eling, ngeh dengan kekinian, kaca mata kuda tanggal dengan sendiri berganti kaca mata multidimensi
terima kasih