“Setelah gudang-gudang terbakar rata dengan tanah,
Rembulan pun tampak olehku.”
(Masahide)
Pada saat awal, terutama ketika kita tidak tahu apa-apa tentang meditasi, kita memang merasa terbantukan dengan teori meditasi. Namun ketika kita mulai membiasakan meditasi rutin untuk jangka waktu yang panjang, kita malah tidak butuh banyak teori. Saya justru sering terganggu ketika mencoba mengumpulkan teori meditasi. Setelah saya renungkan, itu karena saya terlalu melekati konsep, termasuk konsep tentang meditasi.
Belajar meditasi adalah sebuah paradoks yang mungkin membingungkan bagi orang yang pertama kali mengenalnya. Ketika memuncak pada kebuntuan, akan lebih baik melupakan teknik meditasi. Ketika kita tak sadar diri dan hanyut dalam gambaran mental yang kita ciptakan, kita butuh diingatkan untuk kembali pada teknik.
Peranan guru dalam meditasi benar-benar hanya sebagai petunjuk, dan kita sendirilah yang harus berjalan dalam kesendirian. Seperti yang dikatakan Nisargatta Maharaj, “Guru luar hanyalah patok jalan.” Peringatan guru hanya sekedar pengetahuan di awal, dalam pengalaman meditasi yang sebenarnya itu tidak ada yang mengingatkan kita.
Apa yang dilakukan dalam meditasi adalah sekedar mengetahui. Apa yang disebut menyadari bukanlah usaha mengamati. Menyadari adalah proses alami dalam mengetahui. Sekedar mengetahui ini, akan membuat kita lebih siap menghadapi apapun.
Kesiapan meniadakan ketakutan. Dalam sekedar mengetahui, disitu tidak ada penderitaan. Justru penderitaan muncul karena proses pikiran yang rumit. Ketika semakinrumit, kita memberi kesempatan untuk berpikir. Dan selanjutnya, kita memberi ruang untuk menyukai dan membenci. Pada saat itu, kita mulai mengkondisikan sesuatu demi sebuah kebahagiaan. Upaya ini tentu saja semakin membuat kita menderita. Alasannya begitu sederhana. Kenyataannya, kita tidak memiliki kekuasaan dalam mengatur sesuatu sesuai dengan konsep kebahagiaan kita.
Kesiapan juga berarti kesederhanaan. Ketika kita tidak sederhana, ketika itu kita tidak siap menghadapi keadaan.
Kesiapan juga tentang pelepasan. Saya menyukai kalimat “pelepasan adalah jalan sekaligus tujuan”. Selama kita menancapkan tujuan eksternal, maka itu berarti kita sudah masuk pada siklus penderitaan. Siklus ini hanya bisa dipotong dengan menganggap tujuan dan jalan adalah satu, yaitu sekedar mengetahui, menyadari, melepas, maka kita akan siap dan bebas dari semua kondisi yang ada.
Jika demikian kebahagiaan sejati itu begitu sederhana mudah. Namun mengapa banyak diantara kita masih menderita?
Ungkapan Lama Surya Das ini barangkali bisa menyadarkan kita. “Kita telah menjadi jauh lebih rumit,maka Sang Jalan pun menjadi sedikit lebih rumit. Namun Jalan itu selalu ada, persis di bawah telapak kita.”
Mengapa masih bertanya?
Hanya mengetahui. Itu saja!
Kamis, 12 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar