Jumat, 21 Mei 2010

EFFORTLESS PRACTICE IN DAILY LIFE | Mengapa mesti membaca tulisan pendek ini?



“Visimu hanya akan jelas apabila Anda melihat ke dalam hatimu.
Siapapun yang melihat ke luar hanyalah bermimpi.
Siapapun yang melihat keadalam, sadar.”
(C.G. Jung)

“Manusia tidak dapat menyadari kenyataan yang sebenarnya
merupakan cermin kesadaran di dalam diri.”
(Hua-Ching Ni)


Mengapa mesti membaca tulisan pendek ini?
Yah, yang jelas bukan sekedar untuk menambah pengalaman.
Apapun alasannya nanti Anda akan tahu sendiri jika sudah selesai membaca semuanya. Sekarang, silakan baca sebuah legenda di bawah ini sebagai pengantar awal.

Pada waktu itu ada dewa yang bertanya pada seorang pertapa bijak mengenai perumpamaan banjir.
Dewa itu bertanya, “Katakanlah, bagaimana Anda menyeberangi banjir?”
“Dengan tidak berdiam dan tidak berjuang Aku menyeberangi banjir,” jawab Sang pertapa secara ringkas.
“Tapi bagaimana mungkin Anda melakukan hal itu, tanpa berdiam dan juga tanpa berjuang, bisa menyeberangi banjir?,” Dewa itu heran tidak mengerti.
“Pada waktu berdiam, maka seseorang akan tenggelam. Pada waktu seseorang berjuang terlalu keras, maka dia hanya akan berputar-putar. Karena itu Aku katakan dengan tidak berdiam dan tidak berjuang, Aku menyeberangi banjir ini.” Itulah penjelasan akhir sang pertapa tentang perumpamaan banjir.

Saya menyukai legenda di atas, walaupun saya sebenarnya termasuk orang yang skeptis dalam memahami sesuatu. Saya tidak ingin memahami sesuatu karena dogma. Saya belajar untuk memahami bahwa hidup perlu dijalani dengan penuh kebahagiaan. Apapun yang membantu pada jalan kebahagiaan, itulah yang saya pelajari.

Tulisan ini adalah sudut pandang lain tentang happiness philosophy yang pernah saya bahas pada notes sebelumnya. Intinya masih sama, bahwa kebahagiaan bukanlah pencapaian. Kebahagiaan itu sudah ada, yang perlu dilakukan hanyalah memahami dan merasakannya. Jika kebahagiaan belum terasa, itu karena pikiran kita penuh dengan konflik ciptaan kita sendiri. Jika kita berhenti membuat konflik, maka kebahagiaan itu akan menampakkan diri secara alami. Pengertian dasar ini menggarisbawahi bahwa perjuangan pada pencapaian kebahagiaan selalu bersifat kontra produktif. Satu-satunya cara merasakan kebahagiaan adalah dengan tidak berusaha mencapainya. Pemahaman mistik pada setiap tradisi spiritual menunjukkan kesimpulan yang sama akan hal ini.

Jika dibuat dalam sebuah analogi, maka akan menjadi seperti ini. Kebahagiaan itu ibarat seperti cahaya, ada banyak nama dari bentuk pancaran cahaya itu. Cinta kasih, welas asih, tindakan bajik, atau apa saja. Itu hanyalah bentuk lain dari cahaya yang indah itu. Saripatinya adalah cahaya kebahagiaan yang sudah ada, yang bukan hasil pencapaian.

“Sewaktu pohon lemon sedang berbunga, Anda tidak bisa
melihat buahnya, tetapi jika Anda mengamatinya,
Anda bisa melihat bahwa buahnya telah ada di sana.”
(Thich Nhat Hanh)



Belum lama ini saya dipinjami seorang sahabat sebuah buku tentang meditasi buka hati. Cara praktik buka hati yang paling mudah adalah dengan tersenyum tulus. Ya. Tersenyum tulus. Begitu sederhana. Coba perhatikan diri kita, berapa sering kita tersenyum sepenuhnya, tanpa membawa beban pemikiran. Jika dihubungkan dengan hypnosis, itu adalah tersenyum pada gelombang otak alfa atau theta. Kita lebih sering tersenyum pada tingkatan betabukan? Sudah jarang sekali senyum, jika sempat tersenyum itu hanya senyuman luar bukan dari dalam. Kita tidak sungguh-sungguh menikmati senyuman kita itu. Bisa jadi ketika Anda tersenyum, Anda melakukannya sambil berpikir banyak hal. Agar disukai orang lain, atau juga gelisah dan sibuk mengharapkan respon positif orang lain, dan lain-lain. Mengapa tersenyum saja dibuat sulit?

Kembali pada effortless practice.
Pernahkah Anda bekerja keras namun selalu menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan? Misalkan, Anda berusaha keras untuk tersenyum tulus, yang terjadi hanya senyuman terpaksa yang penuh ketegangan. Anda berusaha memancarkan cinta kasih. Dan boleh jujur bahwa cinta kasih itu tidak pernah hadir. Atau, Anda berusaha tidak marah. Yang terjadi, Anda malah membuat kemarahan semakin menjadi-jadi. Mengapa hal ini bisa terjadi?

“Bukan apa yang Anda dapat, tetapi apa yang hilang dari diri Anda.
Seperti mengupas lapisan bawang, itulah yang harus Anda lakukan.”
(Tenzin Palmo)


Penyebab utama masalah ini adalah karena Anda memahami bahwa segalanya itu adalah pencapaian. Sementara kenyataannya, keberhasilan spiritual berbanding lurus dengan penerimaan akan keadaan secara alami, sama sekali bukan tentang menggapai buah spiritual. Pemahaman dasar seperti ini adalah penting untuk diketahui.

Jack Elias, seorang terapis yang juga dipengaruhi praktik meditasi, pernah menulis: “proses inti dari pemikiran egoik adalah permainan dualistik pikiran.” Pemaparan Jack akan memperjelas perumpamaan banjir, yaitu sikap tidak berdiam maupun tidak berjuang. Roda penderitaan terjadi dan terus berputar karena adanya papan jungkat jungkit, polaritas, dimana ujung papan yang satu menetap tak bergerak dan menghilangkan ujung pada kutub lainnya. Kita melekat pada dua kutub yang ditunjukkan dengan sistem nilai kita, seperti baik-buruk, untung-rugi, benar-salah, harapan-ketakutan, dan seterusnya. Pemikiran egoik adalah menjebak, ketika seseorang mengalami penderitaan, lalu terlintas dalam dirinya pengejaran kesenangan yang dianggap solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Keduanya, adalah penderitaan yang sama, disitulah konflik tercipta. Jika konflik dalam pikiran berhenti, maka yang tersisa adalah “apa adanya”, yang tidak lain adalah cahaya kebahagiaan.

“Kita bukanlah kata benda, kita adalah kata kerja.”
(Buckminster Fuller)


Tidak berdiam maupun tidak berjuang dalam perumpamaan banjir adalah mengenai terbebasnya kita dari belenggu berpikir. Pandangan ini mengingatkan kita akan perasaan pencapaian dan usaha keras dalam mencapai kualitas diri. Berusaha untuk bahagia, itu juga berarti mengingkari adanya kebahagiaan pada “saat ini”. Berusaha agar memiliki cinta kasih, itu juga berarti mengingkari adanya cinta kasih. Jelas sekali, kemampuan mental tidak bisa didekte dari luar. Boleh dibilang juga bahwa dogma tidak bisa menjangkau wilayah kecakapan spiritual. Spiritualitas itu urusan individu dan harus ditumbuhkan dari dalam.

Seorang guru meditasi pernah memancing sebuah pertanyaan.
“Mengapa orang ingin bahagia?”
Suasana waktu itu hening sejenak. Lalu, dia melanjutkan.
“Orang ingin bahagia karena menderita. Sebenarnya sederhana saja. Jika dia bahagia maka dia tidak perlu lagi mengejar kebahagiaan.”
Effortless practice adalah sikap sederhana yang membebaskan. Inilah rahasia dari para guru meditasi.

Mari kita mulai dengan tersenyum yang bebas, tanpa beban. Berdiri secara bebas. Dan, Andapun bisa mengembangkannya dalam bekerja secara bebas. Hidup ini sungguh membahagiakan bagi mereka yang mengetahui dan mempraktikkan semua hal ini.

Be happy!

http://www.facebook.com/note.php?note_id=399133160822

Tidak ada komentar: