Selasa, 14 Juli 2009
SIAPAKAH AKU? Melampaui De-Rasionalisasi & Re-Rasionalisasi
“Hakikat sifat kita adalah diam, berbicara hanya sekadar tambahan.”
(Kahlil Gibran)
“Zen pada intinya adalah seni menyikapkan watak sejati diri kita, dan
menunjukkan jalan dari keterikatan menuju kebebasan.”
(D.T. Suzuki)
“Aku tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Aku’.”
(Ajahn Chah)
“Mereka yang tahu akan diam.”
(Lao Tzu)
“Tuhan direndahkan hingga ke dalam kontradiksi kehidupan,
bukannya kedalam transfigurasinya, dan ‘Ya’ yang abadi.”
(Nietzsche)
Pemahaman jati diri sejati adalah salah satu ciri pendekatan dalam tradisi mistik. Mungkin ketika kita banyak membaca literatur filsafat, kita cenderung memahami jati diri sebagai peranan “Aku” dalam melakukan rasionalisasi. Menjadi pandai, dan mampu memahami sesuatu secara kritis adalah identitas diri yang menjadi daya tarik.
Saya merasakan justru banyak gelisah, dan mudah agresif terutama dalam menghadapi situasi yang argumentatif. Hanya menjadi kritis, itu tidak akan memberi perbaikan. Dalam pandangan saya, menjadi kritis dan suka dengan filsafat mesti harus masuk dalam pendekatan mistik.
Mistik disini bukanlah hal gaib, suatu bentuk degradasi pemikiran atau de-rasionalisasi. Mistik juga tidak berarti re-rasionalisasi. De-rasionalisasi dan Re-rasionalisasi, keduanya, adalah siklus kebingungan manusia. Pendekatan mistik adalah melampaui keduanya.
De-rasionalisasi yang didasari keyakinan buta dan harapan adalah wujud ketidakberdayaan. Karena itu, Meister Eckhart –sang mistikus Kristen, pernah berkata, “Aku berdoa kepada Tuhan untuk membebaskan aku dari Dia.” Beragama bukanlah solusi imajiner dengan dalih keyakinan, tapi menyalami –sehingga keyakinan tidak lagi buta. Karena keyakinan yang sejati adalah pengetahuan yang sejati.
Sementara re-rasionalisasi sekilas menuju pada kebenaran. Namun kita akan semakin menyadari bahwa pemahaman rasio hanyalah peta yang tidak akan pernah menjadi wilayah. Satu-satunya manfaat peta adalah untuk petunjuk jalan –tanpa harus berambisi menjadi peta sempurna. Master Hui Neng, sesepuh ke-6 Zen, mengumpamakannya seperti jari telunjuk yang mengarah pada terang bulan yang indah di malam hari. Telunjuk tidak akan pernah menjadi bulan.
Sifat hakiki kita adalah diam. Sifat sejati kita adalah mengalami dalam keheningan, bukan menciptakan keributan dan prasangka. Upaya menciptakan adalah wujud penderitaan, berusaha mengatasi banyak hal demi imbalan kebahagiaan adalah absurd (baca: sia-sia). Kenyataannya, gerak upaya kita tidak pernah menjadi kebahagiaan. Upaya itu hanya memberi kesenangan sesaat. Dengan berdiam, kebahagiaan itu akan hadir secara alami tanpa harus diperintah dan direncanakan dengan penuh perhitungan.
Menjadi seorang mistikus adalah sekedar tahu, tanpa sok tahu, hanya mengalir bersama arus perubahan. Nietzsche memahaminya dengan berkata “Ya” pada kehidupan. Tyler T. Roberts memahami dengan mengatakan, “mengetahui diri sendiri sebagai becoming, orang mengetahui diri sendiri sebagai yang sudah menjadi ‘sesuatu yang lain’.” Ataupun seperti ungkapan Saint Agustine, “If you can understand it, then it is not God.”
Guru-Guru Zen sering memancing dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah Aku?” Jika masih ada “Aku” yang berbicara, maka itu hanya re-rasionalisasi. Jika tidak peduli dengan filsafat rumit dan memilih asyik dengan sandaran “harapan”, itu adalah de-rasionalisasi. Menjawab pertanyaan tentang jati diri itu adalah dengan berdiam, penyadaran akan adanya tanpa “Aku”. “Aku tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Aku’.”
Tidakkah kita sudah menyadarinya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar