Kamis, 02 Juli 2009
BELAJAR TENTANG KETIDAKPASTIAN DALAM “THE OXFORD MURDERS”
“Sayangnya bagaimanapun.
Hal ini tak ada sangkut pautnya dengan kebenaran ...
Ini hanyalah rasa takut”.
(Profesor Arthur Seldom, dalam film “The Oxford Murders”)
Ada sebuah adegan menarik dalam film “The Oxford Murders”.
Pada waktu itu seorang profesor dan ahli matematika bernama Arthur Seldom sedang mempresentasikan sebuah buku karangannya di atas podium dalam sebuah aula yang dihadiri banyak mahasiswa di Oxford.
Sang profesor berkata,
“Tidak ada cara yang bisa menemukan kebenaran mutlak. Argumen tak terbantahkan yang bisa bantu menjawab pertanyaan umat manusia. Dengan begitu filosofi telah mati. Karena dimana kita tidak bisa berbicara dengan begitu kita harus berdiam diri”.
Ada keheningan sejenak ketika profesor selesai berbicara uraian yang singkat dan padat itu, namun tiba-tiba seorang mahasiswa bernama Martin menunjukkan diri ditengah kerumunan audiens yang lain.
“Oh, sepertinya ada yang ingin bicara. Sepertinya kau tidak setuju dengan pendapat ini. Itu mungkin artinya kau telah temukan kontradiksi dalam argumen dari risalah itu atau ada kebenaran mutlak yang akan kau bagi dengan kita”. Sang profesor memperhatikan mahasiswa itu.
“Aku percaya pada angka pi (3,14),” kata Martin sambil berdiri.
Audiens yang lain tertawa.
“Aku tidak mengerti. Kau bilang percaya pada apa?”, tanya profesor sambil maju dan turun dari podium mendekati Martin.
“Pada angka pi. Dalam seksi emas. Urutan fibonacci. Inti dari alam bersifat matematis. Ada arti tersembunyi dibalik kenyataan. Hal yang teratur mengikuti modelnya. Sebuah skema, sebuah urutan logis. Bahkan butiran salju juga memiliki basis angka-angka pada strukturnya. Karena itu jika kita berhasil menemukan arti tersembunyi dari angka-angka kita akan mengetahui arti tersembunyi dari kenyataan”.
“Mengesankan. Menerjemahkan kata-kata Fobonacci dalam bahasa Inggris”, kata profesor Seldom yang segera diiringi tawa audiens.
“Kita dapati diri kita dalam pembelaan matematika yang segar dan bersemangat yang seolah angka-angka itu juga merupakan ide nyata dalam kehidupan. Lagipula ini bukan hal baru. Karena manusia tak bisa menyatukan pikiran dan benda. Ia berusaha untuk merubah beberapa perbedaan dalam pemikiran. Karena ia tak bisa menerima konsep bahwa abstrak murni hanya ada dibenak kita. Keindahan dan harmoni dari butiran salju.”
Para audiens tertawa setelah profesor menyebutkan kalimat terakhir tentang harmoni butiran salju.
Sambil kembali pada podium, profesor berkata,
“Indah sekali. Kupu-kupu yang kepakkan sayapnya dan menyebabkan badai di belahan dunia lain. Kita sudah mendengar tentang kupu-kupu itu selama berabad-abad. Tapi siapa yang bisa menduga sebuah badai? Tak seorangpun.”
Tiba-tiba profesor Seldom berbalik dan ingin menyampaikan sesuatu yang penting.
“Katakan padaku! Dimana keindahan dan harmoni dari kanker? Apa yang membuat sebuah sel tiba-tiba memutuskan merubah dirinya menjadi tumor ganas pembunuh dan menghancurkan sel-sel lainnya di dalam tubuh yang sehat. Ada yang tahu?”
Semua audiens terdiam, termasuk Martin. Tidak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan profesor Seldom.
Akhirnya, profesor menjawab sendiri.
“Nah, karena kita lebih suka berpikir soal salju dan kupu-kupu dan penderitaan. Perang? Atau buku itu?”, sambil menunjuk buku karangannya di podium.
“Kenapa? Karena kita butuh berpikir bahwa hidup memiliki arti. Tapi semuanya terjadi karena logika dan bukan karena kebetulan.”
Profesor masih berusaha menjelaskan sambil kembali ke atas podium,
“Jika kutulis 2 & 4 & 6, maka kita sudah tahu berikutnya pasti 8. Kita bisa menduganya. Kita bukan dalam genggaman takdir.”
Di atas podium, profesor menutup presentasinya dengan pemahaman yang mendalam.
“Sayangnya bagaimanapun. Hal ini tak ada sangkut pautnya dengan kebenaran. Setuju? Ini hanyalah rasa takut. Menyedihkan. Begitulah.”
* * *
Ketidakpastian adalah kenyataan yang tidak hanya dipahami oleh tradisi spiritual, tetapi juga pada dunia fisika dan matematika, sebagaimana yang diungkapkan dalam tokoh Profesor Arthur Seldom. Manusia mencari kepastian bukanlah untuk menjadi penguasa alam, dekat dengan Tuhan, ataupun untuk merasakan kedamaian. Semua itu lebih didasari hal negatif yang mendasar, yaitu rasa takut, yang tidak lain adalah penderitaan.
Menjadi bahagia bukanlah berasumsi tentang kepastian. Bahagia akan hadir secara alami dari dalam justru pada saat kita mengakui ketidakpastian dalam hidup.
Pada akhirnya, cara bahagia dengan menghadapi ketidakpastian adalah sesuatu yang kita butuhkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar