Minggu, 21 September 2008

MENULIS, SEBUAH REFLEKSI TANPA DIRI

"Kematian pengarang juga diumumkan sebagai muslihat agar
proses membaca dan memaknai lebih kaya dan produktif, yakni
tanpa mengembalikan karya ke asal-usulnya, pengarang
"
(Nirvan Dewanto)

Saya pertama kali membaca pemikiran yang membongkar tentang pemaknaan pada tahun 2000, waktu itu adalah Teori Dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jaques Derrida, salah seorang filsuf Perancis yang dikagumi. Secara tak sengaja saya menemukannya setelah mempelajari gagasan Nietzsche (1844-1900) yang ditulis oleh St. Sunardi.

Ketika makna dibongkar ternyata tidak ada yang tersisa, maka apalah artinya aksara. Kaum eksistensialis menyebutnya sebagai absurd, tanpa makna. Guru-guru Tantra yang meneruskan ajaran madhyamaka menyebut segalanya sebagai sunya (kosong). Tidak ada ezensi dibalik simbol-simbol yang ada di sekitar kita --bahkan di dalam pikiran kita sekalipun.

Menulis mungkin pada mulanya adalah obsesi, sesuatu yang membuat diri ini bisa memenuhi hal-hal yang terbaik. Kadang pula menulis dianggap sebagai upaya mewarisi kekayaan pemikiran untuk generasi yang lebih muda. Seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia, "Sepandai-pandainya seseorang, setinggi-tingginya kekuasaan manusia, apabila ia tidak menulis, maka suatu saat akan di telan oleh sejarah". Namun belakangan, saya memahami menulis sebagai refleksi tanpa diri. Jika makna sudah tidak lagi menjadi daya tarik, lalu untuk apa menulis. Pada akhirnya, menulis bukan untuk orang lain, maupun untuk diri sendiri. Mungkin lebih tepat, menulis hanya untuk menulis itu sendiri. Sekedar menorehkan gagasan untuk proses pembelajarannya sendiri.

Kenyataannya, sebuah tulisan akan diinterpretasikan secara berbeda oleh para pembacanya. Seorang penulis sudah mati ketika tulisan sudah jadi dan mulai dibaca orang lain. Tidak heran jika Levi-Strauss, si empu antropologi itu, pernah menyebutkan bahwa tugas ilmu-ilmu kemanusiaan, humanities, bukanlah melestarikan (konsep tentang) manusia, keseorangan, melainkan melenyapkannya. Kemanusiaan adalah kemampuan menghadapi segala ketidakpastian, seperti yang diekspresikan Samuel Becket (1906-1989) dalam drama legendarisnya Waiting for Godot (1953). Dari awal panggung sudah disinggung tokoh Godot yang sedang ditunggu, hingga akhir drama si Godot itu tidak pernah datang. Hikmah drama itu, bahwa kita sulit mengakui ketanpamaknaan, kita lebih suka mencipta berhala-berhala makna. Dari pada menanti Sang Makna, mengapa tidak menikmati ketanpamaknaan dalam proses. Mengapa kita koq tidak kunjung paham akan ketanpamaknaan?

Jika memang karya tulis itu sudah mati sejak diterbitkan, maka pesan-pesan yang ada dalam karya tulis itu menjadi tidak penting. Tulisan menjadi tak ubahnya seperti alam semesta, suatu kumpulan simbol yang chaos, dan kita hidup didalamnya --tanpa sejumput pengetahuan yang menjelaskan eksistensi kita. Kitalah yang harus berinisiatif untuk memahami semesta. Manfaat dari suatu karya tulis sangat tergantung pada interpretasi para pembaca, sudah tak ada hubungannya lagi dengan penulis. Nagarjuna, seorang filsuf abad I dari India, yang adalah perintis madhyamaka menyebutkan "kebenaran adalah sesuatu yang membantu". Apapun penelusuran makna, itu harus mengabdi pada hal yang membantu pada penyempurnaan akan pengertian hidup. Suatu saat, perjalanan kita akan masuk pada upaya pelepasan makna. Kesempurnaan harus bebas, termasuk bebas dari segala makna yang kita anut.

Refleksi tanpa diri adalah istilah yang paling tepat dalam mendiskripsikan proses penulisan. Karya-karya tulis yang abadi --seperti sebagian besar kitab suci agama, bukan tergantung dari penulisnya, tapi tergantung pada mereka yang membaca. YM. Jotidhammo Thera pernah mengatakan, "Ilmu agama itu sudah mati, yang hidup adalah ilmu filsafat [tentang agama]". Interpretasi akan selalu berkembang dalam konteks jamannya. Menulis tidak lepas dari interpretasi, dan yang paling utama, menulis merupakan teladan tentang ketidakpastian.

Jika seorang penulis enggan melakukan refleksi diri, maka dia akan berhenti belajar. Apa yang dirasakannya itu dianggap sebagai kemandekan yang berarti telah tercapainya tujuan. Padahal itu hanya berhala baru, yang justru bertentangan pada tujuan yang sesungguhnya. Tujuan belajar adalah intuisi untuk tidak berdiam diri dan secara tulus mampu menerima keindahan ketidakpastian. Sang Buddha dalam Ogha Sutta menyebutkan bahwa dengan berdiam hanya akan membuat kita tenggelam, bergerak berlebihan menandakan terjebak dalam harapan kepastian. Keduanya menyebabkan kita tidak bisa melewati banjir (ogha) penderitaan.

Aktifitas menulis tidak ubahnya seperti proses pembelajaran yang hanya menjadi refleksi terus menerus, suatu perjalanan yang bukan hanya tidak menentu tapi juga tiada akhir. Refleksi tanpa diri adalah masuk dalam arus perubahan, yang ditandai dengan adanya keterbukaan. Keterbukaan disini, tidak lain, adalah pengakuan akan kesalahan dan upaya memperbaiki. Ketika seseorang menemukan kesimpulan dalam hidup, kesimpulan itu harus ditinggalkan, karena dia akan segera menemukan kesimpulan yang lain. Berdiam pada sebuah kesimpulan itu mungkin membanggakan. Tapi mestinya kita tak perlu takabur. Fase belajar kita masih panjang.

Saya teringat tulisan Sogyal Rinpoche yang mengutip Patrul Rinpoche (1808-1887), "The logical mind seems interesting, but is is the seed of delution". Intelektualitas bukanlah tidak perlu. Karena berbahaya juga seorang yang sok intuitif yang meremehkan intelektualitas, padahal dia sepenuhnya belum sempurna. Alasan intuitif bisa menghalangi refleksi diri. Dia justru gagal dalam menghadapi ketidakpastian dan lebih memilih nyaman dalam kepastian palsu yang berlabel "spiritual".

Singkat kata, seorang pembelajar, pada akhirnya, menyadari bahwa dirinya telah mati berkali-kali --bahkan sebelum sebuah karya ditulis.

Walaupun saya bukan orang sempurna, tapi itulah yang sedang saya pelajari sekarang.

Tidak ada komentar: