“Dunia yang tanpa mistik sama sekali akan merupakan
dunia yang buta total dan amat sangat menyedihkan”
(Aldous Huxley, Penulis Inggris)
Dikotomi subyektif-obyektif pada umumnya dipahami sebagai pertentangan antara Timur dan Barat. Subyektif adalah cara Timur dan obyektif adalah cara Barat. Lebih parah lagi, hal ini terlanjur dianggap bahwa “Timur” itu hanya milik orang Timur, dan demikian juga sebaliknya. Namun postmodernisme telah menanggalkan dikotomi ini dan telah disadari bahwa pencapaian modernisme tidak membawa pada harapan yang lebih baik.
Fritjof Capra dalam “The Turning Point” menyebutkan pendekatan subyektif dan obyektif sebagai suatu kombinasi yang saling melengkapi, dan tidak perlu untuk saling dipertentangkan. Capra menyebutkan obyektif itu sebagai rasional dan subyektif sebagai intuitif. Pemikiran rasional bersifat linier, terfokus dan analitis, yang berfungsi untuk membedakan, mengukur, dan mengelompokkan. Dengan demikian pemikiran rasional cederung terpotong-potong dalam melihat segala sesuatu. Hal ini adalah cara berpikir mekanistik sejak Rene Descartes (1596-1650). Sebaliknya, pemikiran intuitif didasarkan pada pengalaman yang bersifat langsung dan non-intelektual. Hanya saja Capra lebih banyak mengeksplorasi gagasannya mengenai pararelisme Spiritualitas Timur dengan Fisika Modern, sesuai dengan latar belakangnya sebagai seorang fisikawan.
Jika kita mengikuti perkembangan Filsafat Barat, pendekatan yang kian “subyektif” mulai menjadi perhatian terutama sejak Edmund Husserl (1859-1938) mendirikan Fenomenologi. Menurut Husserl, “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung, dengan tidak menggunakan perantara apapun, yang dapat dipakai sebagai kriterium terakhir di bidang filsafat. Husserl menambahkan bahwa kesadaran dan realitas adalah keping mata uang yang sama. Subyek selalu bersifat kesadaran akan sesuatu. Subyek selalu menghadirkan realitas dalam persepsinya sendiri. Realitas ini hanya merupakan aktifitas kesadaran yang memungkinkan seolah-olah obyek menjadi kelihatan. Sehingga apa yang dipahami kesadaran itu tidak akan pernah sama dengan realitas. Tidak mungkin untuk mendiskripsikan kebenaran dengan kerangka teori yang sempurna. Gaston Bachelard (1884-1962) mengatakan, “kebenaran itu tidak lain daripada kesalahan yang dibetulkan”. Sebagai Filsuf Epistimologi, Gaston menyimpulkan seperti itu karena melihat sejarah lahirnya ilmu pengetahuan. Setiap penemuan baru mencoba mendeskripsikan kebenaran, dan tidak jarang membuka kekurangan dan kesalahan teori-teori yang ada sebelumnya. Obyektivitas hanya menjadi suatu kesepakatan yang tidak terlepas dari jerat persepsi yang dibuatnya sendiri.
Walaupun demikian, harus diakui bahwa rasionalisasi agama telah membantu dan memberikan semangat baru terutama kaitannya dengan spiritualitas yang melewati batas tradisi. Damhuri Muhammad (2008) menyinggung tentang Islamisasi Sains yang sudah ada sejak pengujung kurun 14 H. Sejarah kecendekiawan Islam mencatat pemikiran itu mengarah pada sufisme. Dalam tradisi Kristen, Meister Eckhart (1260-1327) menggabungkan pengalaman mistik dengan kekuatan intelektual. Hal itu yang membuat Eckhart dipandang sebagai peletak dasar filsafat dan mistisisme di Jerman. Memang menarik penemuan logika yang pada akhirnya kembali pada sisi intuitif. Jika dulu filsafat dan agama menjadi dua hal yang tidak terjembatani, maka kini jembatan itu telah dibangun dan semakin jelas dalam bentuknya, yaitu mistisisme.
Tradisi mistik pada umumnya memiliki sebuah kesamaan, yaitu adanya penyatuan pada sesuatu yang bersifat transenden. Penyatuan adalah pengalaman yang ditandai dengan hilangnya batas antara subyek dan obyek. Pengalaman ini oleh Bayazid Bistami diekspresikan dalam sebuah kalimat, “Aku mencari Tuhan dan hanya menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan”.
Mistik Jawa juga mengungkapkan hal yang serupa:
“Gesang tanpa roh, kumaos tanpa piranti //
Tan wiwitan datan kewasan, tan kena kinaya ngapa //
Ora jaman ora makam, ora arah ora enggon //
Adoh tanpa wangenan, cedak tanpa gepokan //
Ora njaba ora njero, lembut tan kena jinumput //
Gede tan kena kiniranira
(Hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat //
tanpa awal tanpa akhir, tidak dapat diapa siapakan //
tak kenal jaman maupun perhentian, tak berarah tak bertempat //
jauh tak terbatas, dekat tak terkira //
tidak diluar maupun di dalam, halus tak terpungut //
besar tak terkira).
Pada dasarnya semua pengalaman seperti ini bersifat personal. Karena itu penyampaian mistik jarang dalam petunjuk yang detail. Mereka yang tahu akan memilih diam, seperti kemembisuan Sang Buddha ketika diminta menjelaskan sesuatu yang intuitif. Semua itu dalam rangka mengarahkan spiritualitas yang langsung pada jantung eksistensi yang melampaui simbol dan tradisi. Tidak ada jawaban lain selain dengan mengalaminya sendiri.
Agama terorganisir bagaimanapun telah berhasil dalam memberikan patron etika dan turut mengatur kehidupan manusia pada bentuk “kewajaran” tertentu, walaupun sejarah juga mencatat masa kelam perang agama. Meminjam pendapat William James (1902), dia menyebutkan bahwa “agama” adalah rumah dari agama personal. Sebagai rumah agama, agama formal mampu memberikan perilaku standar, namun tidak secara personal. Bahkan kesadaran intuitif dalam agama personal tidak bisa dipaksakan karena kesadaran ini adalah buah dari pengertian yang melewati pengalaman psikologis yang paling dalam.
Wajah asli agama lebih merupakan komunitas kesadaran yang bersifat pengetahuan diri. Karen Armstrong (1993) menyinggung pengetahuan ini dengan memperjelas arti kata “dogma”. Menurutnya, istilah ini pada mulanya digunakan oleh Kristen Yunani untuk menjelaskan tradisi gereja yang bersifat tersembunyi dan rahasia, yang hanya mungkin dipahami secara mistik dan diungkapkan secara simbolik. Belakangan dalam upaya pengembangan Kristen, dogma diartikan sebagai seperangkat pendapat yang bersifat kategorik dan autoratif. Demikian juga terjadi pada hampir semua tradisi agama besar yang kita kenal sekarang ini.
Mistisisme, dalam hal ini, merupakan sebuah harapan yang mampu mempertemukan semua tradisi spiritual dalam cara pandang yang universal. Encyclopedia Britannica (2003) menyebutkan bahwa mistisisme adalah harta karun abad ke-20 yang tersembunyi di pusat-pusat jiwa kita. Jika mistikus Kristen dan Islam memulai dengan “keterbatasan manusia” yang terperosok dalam dosa, maka mistikus Buddhis memulai dengan masalah penderitaan (dukkha) dan ketidakabadian (anicca). Setiap tradisi menunjukkan adanya jalan untuk menuju ketakterbatasan melalui kualitas pikiran yang lebih tinggi. Dalam sebuah pengantar buku “The good Heart” (1996) yang berisi dialog antara Buddhis dengan Kristen, Laurence Freeman menulis, ”Perbedaan jalan dalam kehidupan manusia selalu diikuti ekspresi, dalam keanekaragaman, Sebuah Persatuan dengan Kebenaran. Hanya ada Satu Kebenaran, Satu Tuhan. Satu Kata, tetapi banyak dialek.” Kebenaran itu tak terkatakan. Jika kita benar-benar ingin tahu, maka harus mencari tahu dengan masuk dalam kedalaman pikiran, yang mungkin akan menjadi pekerjaan yang tidak pernah kunjung selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun. Bandung: Mizan, 2004.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1996.
Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang, 1997.
Hadi W.M., Abdul. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari, 2004.
His Holiness the Dalai Lama. The Good Heart. Rider, 1996.
James, William. The Varieties of Religious Experience: Pengalaman-pengalaman Religius. Yogyakarta: Jendela, 2003.
Katz, Steven T (ed.). Menembus Jantung Pengalaman Mistis: Telaah Analisa Filsafat tentang Mistisisme. Yogyakarta: Unggun Religi, 2004.
Paz, Octavio. Levi-Strauss: Empu Antropologi. Yogyakarta: LkiS, 1997.
Rashid, Teja S.M. Dhamma arti Kata dan Penggunaannya dalam Agama Buddha. Jakarta: Bodhi, 1996
Jumat, 12 September 2008
MISTISISME: Spiritualitas yang melampaui Batas Tradisi, SEBUAH HARAPAN?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar