Jumat, 12 September 2008

PENDIDIKAN YANG HUMANIS


Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup,
Pendidikan adalah hidup itu sendiri.
(John Dewey, Filsuf)

Menarik jika kita kaji terlebih dahulu arti kata sekolah dalam bahasa aslinya, bahasa latin, yaitu schola. Kata itu secara hurufiah berarti “waktu luang”. Alkisah orang Yunani kuno menghabiskan waktu luangnya untuk bertemu orang yang pintar dan bijaksana. Mereka mengajukan pertanyaan, berdiskusi, atau sekedar meminta pendapat, lalu selanjutnya mereka kembali pada pekerjaan dan kehidupannya masing-masing. Kebiasaan dalam mengisi waktu luang pada masayarakat Yunani itu lama-lama berkembang dan menjadi lembaga sekolah dimana orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik di sana.

Ada pengertian dasar lain tentang pendidikan yang bisa melengkapi pemahaman kita. Kata “pendidikan” diambil dari kata “educare”, yang berarti “menarik keluar dari”. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman itu sudah ada dalam diri setiap orang. Pendidik hanya perlu menarik dan mengangkatnya keluar dari pintu pemahaman si pelajar sendiri.

Revolusi Pendidikan
Dalam The Accelerated Lerning Hand Book, Dave Meier menyebutkan bahwa pada abad ke-19, sekolah mulai mengalami penyempitan makna sebagai lembaga yang mengajarkan teori-teori yang bersifat “pasti” bagi murid. Hal ini sudah jauh dari pengertian dasar awal tentang sekolah dan pendidikan. Tugas dari sekolah abad ke-19 adalah mempersiapkan orang untuk menghadapi dunia yang statis dan dapat diramalkan. Win Wenger mengatakan bahwa sekolah abad ke-19 lebih menekankan pada “mengajar”, bukan “mendidik”. Dalam ungkapan Alexander Sutherland Neill, pendiri Summerhill School, “mereka diajari untuk mengetahui, tetapi sayangnya tidak diperkenankan untuk merasa”. Inti pendidikan yang diabaikan adalah keterlibatan akan pemahaman mengenai cara-cara untuk memahami. Malangnya sebagian besar dunia sekolah kita masih dipengaruhi cara pendidikan “mengajar” semacam ini.

Yang menjadi masalah utama bahwa dunia yang statis dan tidak berubah –yang diasumsikan pendidikan abad ke-19—itu adalah tidak ada. Pada penghujung abad ke-21 mulai disadari bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan orang untuk hidup di dunia yang pasang surut, yang sama sekali tidak statis. Orang harus hidup dengan mendayakan segala upaya dan kreativitasnya untuk mengenali masalah dan mengatasi permasalahan.

Ada sebuah statistik.
Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DI Yogyakarta1, tahun 2008 jumlah penganggur yang bergelar sarjana sekitar 21.000 dan 663 di antara mereka bergelar S2. Jumlah itu berasal dari sekitar 148.696 penganggur di seluruh provinsi ini.

Tampak jelas, proses belajar di sekolah itu belum cukup. Penyempitan makna pendidikan bukan hanya abad ke-19 tapi juga dirasakan hingga sekarang.

Yang paling dilupakan bahwa proses belajar adalah seumur hidup. Robert T. Kiyosaki, seorang pendidik finansial dari Amerika, menyebutkan, “untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka yang berhasil baik di sekolah mungkin menghadapi tantangan ekonomi yang sama seperti mereka yang tidak berhasil dengan baik”. Bukan hanya di negara maju, di Indonesia semakin terasa bahwa keberhasilan dalam pekerjaan sering tidak ada kaitannya dengan nilai akademis yang baik. Dunia yang selalu berubah membuat tidak ada resep tunggal yang bisa diterapkan, yang bisa menjamin suatu keberhasilan. Satu-satunya yang menjadi dasar bagi menghadapi tantangan hidup adalah sifat pembelajar.
Belajar adalah untuk memecahkan masalah. Kini revolusi pendidikan sudah menyadari pada kenyataan hidup yang seperti ini.

Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun
menciptakan dan terus menciptakan ide.
(Paulo Freire, Filsuf Pendidikan)

Kreatif dan Memahami
Saya memiliki definisi sederhana tentang Sifat Pembelajar:
Sifat pembelajar adalah sifat yang melekat pada semua aktivitas yang membawa pada pemahaman. Belajar bukan hanya pada aktivitas sekolah, tapi mencakup segala aspek kehidupan. Belajar adalah kehidupan. Selama kita memperoleh pemahaman, maka pada waktu itu kita sedang belajar“.

Apa kaitan antara sifat pembelajar dengan kreativitas?
Dalam keseharian, masalah adalah subyek dari pelajaran. Kreatif adalah proses alami yang ada dalam diri kita semua. Jika kita memiliki kreativitas, maka “masalah” bukan menjadi masalah tetapi sesuatu yang bisa ditingkatkan. Dalam proses pembelajaran yang sesungguhnya, masalah adalah pertanda ada sesuatu yang bisa dipahami dan dipecahkan. Karena itu kreativitas itu bukan hanya mengenai menciptakan alat, menjadi penemu, memiliki nilai yang bagus, dan lain-lain. Pengertian kreativitas adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Memahami dan menjadi kreatif adalah sama. Mengerti adalah menjadi sesuatu yang lebih “baru” --mendapat pemahaman baru. Proses ini berulang terus. Semakin banyak tahu akan menghasilkan pengetahuan baru, dan seterusnya. Sifat pembelajar adalah sifat kreatif itu sendiri.

Anda tidak akan pernah menaklukkan gunung;
anda hanya menaklukkan diri sendiri

(Jim Walker, pendaki Mount Everest)


Pendidikan Sosial
Akan lebih menarik jika kita memahami pendidikan pada masalah sosial.
Dalam Kompas 29 Juni 2008, Wapres Jusuf Kalla mengatakan “Marilah kita menghindari kepemimpinan yang membawa bangsa ini menjadi bangsa pemarah”. Inilah cerminan yang terjadi di Indonesia yang diwarnai banyak kekerasan di tengah kondisi perekonomian yang tidak kunjung membaik. Pada waktu itu Kalla resah dengan situasi masyarakat yang serba marah. “Mahasiswa ingin sesuatu, marah; guru ingin sesuatu, ikutan marah; buruh marah; kepala desa marah, murid marah. Dengan falsafah kalbu, tentu ini dapat diredam”, lanjutnya.

Jika daya pikir dan semangat eksploratif dan kreatif berantakan dari
akar-akarnya, maka apapun yang kita perbuat tidak akan
berbobot dan situasi sosial budaya menjadi sangat rawan.

(YB. Mangunwijaya)

Apakah bisa dikatakan pendidikan sosial kita rapuh?
Jika melihat situasi masyarakat yang marah, sepertinya memang “ya”.
Pendidikan sosial tidak akan berhasil jika tanpa memperhatikan pendidikan individu. Di negara maju seperti Amerika, kekerasanpun masih terjadi sehingga di sana ada yang namanya Resolving Conflict Creatively Program (RCCP), sebagai upaya yang memperhatikan masalah konflik. Fokus dari RCCP ini adalah untuk mencegah adanya tindak kekerasan, namun Linda Lantieri, pendirinya, memandang lebih jauh. Lantieri melihat bahwa keterampilan yang digunakan untuk mencegah tindak kekerasan tak mungkin dipisahkan dengan keterampilan emosional. Mengetahui apa yang dirasakan, atau bagaimana menangani dorongan hati atau rasa sedih untuk mengatasi tindak kekerasan itu sama pentingnya dengan mengatasi amarah.


Pendidikan Emosi
Tampaknya kemarahan bukan masalah sosial melainkan individu. Kemarahan adalah wujud ketidakberdayaan. Dengan marah solusi tidak pernah akan ditemukan. Dibutuhkan kecakapan emosi, kemampuan kreatif dalam mengartikulasikan seluruh kemampuan –daripada marah.
Setelah muncul teori Kecerdasan Majemuk pada tahun 1983 selanjutnya pada tahun 1995 muncul Teori Kecerdasan Emosi (Emotial Intelligence) yang dikemukakan oleh Daniel Goleman. Pada dasarnya teori ini menegaskan kembali bahwa ada kecerdasan non-intelektual, yang memberikan kontribusi bagi keberhasilan. Teori Kecerdasan Emosi ini semakin melengkapi apa yang kita butuhkan tentang pendidikan yang sebenarnya.

Menurut Daniel Goleman, Kecerdasan Intelektual (IQ) hanya menyumbangkan kira-kira 20% bagi faktor-faktor penentuan kesuksesan dalam hidup. Seorang peneliti menyebutkan bahwa 80% sisanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk kelas sosial dan nasib baik. Goleman lebih menyoroti Kecerdasan Emosi sebagai faktor penentu yang dicirikan dengan: kemampuan memotivasi diri sendiri, mengendalikan dorongan hati, berempati, berdoa, dan lain-lain. Jika membandingkannya dengan Kecerdasan Majemuk yang dicetuskan Howard Gardner, Kecerdasan Emosi mencakup Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, dan Kecerdasan Eksistensial.

Sekolah formal sering memberikan soal-soal yang hanya memiliki satu jawaban yang benar, yang sudah bisa diketahui bagaimana cara pemecahannya. Hal seperti ini tidak bisa diterapkan dalam kehidupan. Apa yang kita hadapi adalah masalah yang belum terpecahkan.

Karen Arnold, seorang profesor pendidikan di Boston University, menyebutkan bahwa predikat juara tidak memberikan gambaran apapun tentang bagaimana mereka beraksi terhadap kesulitan-kesulitan hidup. Disinilah kita akan masuk pada Kecerdasaan Emosi, yang termasuk mengenai keterampilan menggunakan keterampilan-keterampilan lain yang kita miliki. Kecerdasan emosi bukanlah mengabaikan kecerdasan yang lain. Kecerdasan emosi adalah sesuatu yang membuat perkembangan diri lebih fokus pada pengenalan masalah dan pemecahannya. Emosi yang terarah dengan baik, akan mengarahkan pada pemahaman, dan kreativitas, itu semua adalah proses pembelajaran yang terbaik.

Sesungguhnya bukan pekerjaan yang membunuh manusia, tetapi
rasa takutlah pembunuh yang kejam
(Ir. Soekarno, Presiden RI Pertama)

Masa kanak-kanak merupakan peluang terbuka yang penting untuk mengarahkan kebiasan-kebiasaan emosional yang mendasar. Golemen menyebutkan sebagai “kesempatan emas”. Perlakuan emosional yang buruk pada anak, tidak jarang menjadi trauma masa kecil yang berdampak pada perkembangan pribadinya kelak. Jika orang tua mengajarkan kasih sayang, kepedulian, cara mengatasi kendala, kerjasama, dan sifat-sifat positif lainnya, maka anak akan hidup dalam kepribadian yang lebih bahagia, lebih terbuka, kooperatif, dan lebih diterima dalam kehidupan sosialnya.

Dalam Sumerhill School, Neill secara tidak langsung juga menyinggung tentang kecerdasan emosi. Dia mengatakan: “Saya percaya bahwa anak yang bermasalah hampir selalu dikarenakan oleh perlakukan yang salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah, sehingga saya berani menunjuk para orangtua dan guru sebagai pihak-pihak yang bertanggungjawab atas persoalan ini.”

Nasib Baik
Apakah ada faktor penentu lain? Nasib baik?
Saya perlu menyisipkan pembahasan tentang nasib baik.
Ada sebuah riset tentang “nasib baik” yang dilakukan oleh Ricard Wiseman, seorang psikolog dari University of Hertfordshire, Inggris.

Kisahnya, Wiseman mengundang para peserta yang merasa dirinya beruntung atau merasa sial. Para peserta diminta menghitung jumlah foto yang ada dalam surat kabar. Namun diam-diam ternyata Wiseman memasang bantuan berupa sebuah iklan tersamar setengah halaman disela-sela surat kabar. Iklan itu tertulis “Berhentilah menghitung, ada 43 foto di surat kabar ini”. Ternyata orang yang merasa dirinya tidak beruntung membutuh waktu sekitar 2 menit untuk menghitung foto di surat kabar itu. Sementara orang yang merasa dirinya beruntung hanya butuh waktu beberapa detik.

Penelitian Ricard Wiseman menunjukkan bahwa keberuntungan tergantung pada pikiran dan kebiasaan. Untuk nasib baik yang tidak bisa dikondisikan, seperti mendapat undian misalnya, itu memang tidak bisa diapa-apakan lagi. Namun sangat jarang kisah sukses yang hanya didasari keberuntungan semacam itu.


Mereka memberi maka mereka bisa hidup, sebab tidak memberi berarti binasa.
(Kahlil Gibran)

Hasil dari Pendidikan
Kita telah cukup banyak membahas teori-teori pendidikan kontemporer. Pada intinya menegaskan bahwa belajar adalah memahami. Namun, apa yang dipahami itu untuk apa? Untuk bekal masa depan! Itu sudah jelas. Tidak ada seorangpun yang ingin belajar hanya untuk tidak memiliki masa depan. Masa depan yang seperti apa? Apakah hanya cukup makan dan hidup layak?

Paulo Freire merumuskan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas dirinya sendiri. Bagi Freire, pendidikan yang terbaik harus menjadi kekuatan penyadar ke arah perubahan yang lebih baik. Pendidikan bukan membuat anak didik menjadi orang yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya –dan menjadi korban atas ketidakberdayaannya.
Saya ingin mengulangi Filosofi Rumah yang telah disebutkan pada bagian awal buku ini untuk memperjelas hal ini.

Filosofi ini meletakkan Cinta Kasih sebagai Fondasi Bangunan, pemberian informasi yang tepat sebagai Tiang Utamanya, dan pendekatan yang sesuai kecenderungan sebagai bahan bakar untuk Membangun Rumah. Dan Penemuan Jati Diri sebagai Atapnya, yang membuat segala hal yang telah dibangunnya menjadi berharga.

Menjadi pembaharu adalah dengan berbagi. Penemuan jati diri adalah berbagi, membuat potensi yang ada dalam diri kita menjadi lebih berguna bagi orang lain. Ungkapan bagi YB Mangunwijaya adalah menjadi homo ludens –manusia yang memiliki budi pekerti yang baik, berkemanusiaan tinggi, bukan homo homini lupus –manusia serigala yang memangsa manusia lainnya. Kebahagiaan adalah penemuan jati diri. Penemuan jati diri adalah cinta kasih yang mengejawantah.

3 komentar:

Victor Alexander Liem mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

Saya sangat setuju dengan tulisan hasil akhir dari banyak belajar bukanlah untuk menjadi pintar - tapi menjadi bahagia dan damai. Itulah yang ingin saya jual di http://hatiyangdamai.wordpress.com.
Menulis adalah menjual ide, pemikiran kita. Mengajak orang lain untuk merenungkan jalan pikir kita.

Buddha dan nabi-nabi lain juga menjual ide, dengan harapan setelah mempelajari pemikiran yang diutarakan, orang memperoleh kebahagiaan. Bertambahnya wawasan hanya merupakan rakit. Bukan menjadi tujuan itu sendiri.

Saya senang karena akhirnya saya punya teman di blog yang punya background serupa. Menulis di blog ternyata mempunyai banyak kelebihan. Blog bisa diakses oleh lebih banyak orang. Pembaca juga bisa memberikan tanggapannya sehingga penulis bisa juga belajar dari komentar yang masuk.

Mari kita tulis ide-ide kita dalam blog.

Rahman mengatakan...

Bapak, aku mohon izin mengkopi materinya. untuk tugas kuliah. Terima kasih